11. OTONOMI DAERAH
Otonomi Daerah adalah
kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
(pasal 1 huruf (h) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).Daerah
Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 huruf (i) UU Nomor 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). Tampilan Otonomi Daerah yang begitu
paradoks tidak dapat dilepaskan dari pendekatan politik kekuasaan dalam penyusunan
Undang-Undang. Pemerintahan Daerah baik UU 22 tahun 1999 maupun UU 32 tahun
2004, yang motovasi utamanya untuk menghindarkan diri dari disintegrasi,
sementara semangat untuk membangun demokrasi di tingkat lokal tidak mendapatkan
porsi yang memadai. Penyelenggaraan
pemerintah daerah , sesuai dengan UUD 1945, yang mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraaan masyarakat
melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta
peningkatan daya saing daerah. Otonomi daerah merupakan realisasi dari ide
desentralisasi (Imawan, 2005). Daerah otonom merupakan wujud nyata dan
dianutnya asas devolusi dan dekonsentrasi sebagai makna dari desentralisasi
sendiri. Dalam konteks ini, otonomi harus dipahami secara fungsional.
Maksudnya, orientasi otonomi seharusnya pada upaya pemaksimalan fungsi
pemerintahan (pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan) agar dapat dilakukan
secepat, sedekat, dan setepat mungkin dengan kebutuhan masyarakat.
Pada hakekatnya, otonomi merupakan wujud nyata
desentralisasi. Dalam bahasa yang sederhana otonomi adalah suatu keadaan yang
tidak tergantung pada siapa pun. Dalam bahasa yang lebih politis, dalam konteks
hubungan pusat-daerah, otonomi merupakan sebuah kewenangan yang dimiliki oleh
daerah untuk mengatur sistem administrasi birokrasi, keuangan, kebijakan
publik, dan hal-hal lain, dalam batasan-batasan yang telah ditetapkan dan
disepakati bersama. Penerapan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia,
sesuai dengan Bhineka Tunggal Ika kita, yang terdiri dari ribuan pulau, ratusan
kultur dan subkultur yang menyebar di seluruh nusantara. Dengan berdasarkan
pada variasi lokalitas yang sangat beragam itu, maka sangat tepat untuk
menerapkan otonomi daerah. Hal ini akan memberi peluang seluas luasnya bagi
tiap daerah untuk berkembang sesuai potensi alam dan sumber daya manusia yang
ada di masing masing daerah dan kemudian akan menciptakan suasana kompetisi
antar daerah dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Konstruksi yuridis UU 22 tahun 1999 maupun UU 32 tahun 2004 hanya menggeser
pusat kekuasaan dari elit politik pusat kepada elit politik daerah sebagai
bentuk akomodasi politik kekuasaan terhadap usaha memisahkan diri dari NKRI
yang sebagiannya dikomandani oleh elit politik daerah, sementara konstruksi
yang mampu menciptakan tatanan yang cheks and balance antara masyarakat dan
pemerintahan daerah dilupakan oleh UU ini. Dalam hal hubungan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah bisa kita sebut telah ada desentralisasi namun
dalam hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat tetap mempertahankan
“sentralisasi”. Padahal sentralisasi dengan beragam bentuknya terbukti telah
menyengsarakan bangsa Indonesia selama kurang lebih 60 tahun, namun nampaknya
kita tidak mau belajar dari pengalaman masa lalu dan ingin masuk pada jurang
yang sama. Motivasi untuk menghindarkan diri dari disintegrasi bukannya tidak
penting, namun harus diletakkan dalam bingkai yang lebih strategis dan jangka
panjang, yaitu demokratisasi di tingkat lokal yang mensyaratkan adanya
kesimbangan peran antara elit politik lokal dengan masyarakat. Masyarakat
secara yuridis harus diletakkan sebagai subyek, sebagai sumber hukum dari
kebijakan yang akan diambil, sementara Pemerintah dan DPRD sebagai fasilitator
untuk mengartikulasikan kebutuhan dan aspirasi rakyat, relasi yang demikian
tidak bisa hanya diletakkan dalam aras “teori” atau aras filosofis dari UU
Pemerintahan Daerah, namun harus dikonstruksi secara yuridis agar relasi yang
seimbang tersebut mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Sumber
penyimpangan yang terjadi di daerah amat tekait dengan kelemahan yuridis UU
Pemerintahan Daerah yang tidak meletakkan peran Pemerintah Daerah, DPRD dan
masyarakat secara seimbang namun tersentral pada Pemerintah Daerah dan DPRD,
sehingga kebijakan yang diproduk hanya untuk melayani kepentingan dan ambisi
pribadi atas nama Pemerintah daerah dan DPRD sementara kepentingan masyarakat
yang seharusnya diprioritaskan diabaikan bagai angin lalu saja. UU Pemerintahan
Daerah merupakan karya DPR dan Pemerintah sehingga mereka tidak dapat begitu
saja melepas tanggungjawab atas bopengnya wajah Pemerintah Daerah kita.
5.2. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi
permasalahan dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana
penerapan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah terhadap sumber daya alam?
2. Bagaimana
penerapan UU No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah terhadap sumber daya alam?
5.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan
permasalahan diatas maka yang menjadi tujuan penulis dalam penyusunan makalah
ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dalam kaitannya dengan SDA.
2. Untuk mengetahui UU No. 32 tahun 2004 tentang otonomi
daerah dalam kaitannya dengan SDA.
5.4 Pengertian Otonomi Daerah
5.4.1 Pengertian UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Otonomi daerah menurut
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan. Pelaksanaan
otonomi daerah memungkinkan pelaksanaan tugas umum Pemerintahan dan tugas
Pembangunan berjalan lebih efektif dan efisien serta dapat menjadi sarana
perekat Integrasi bangsa. UU No. 22 1999 jauh lebih Desentralistik dibandingkan
dengan UU No. 5 1974 namun karena pelaksanaan nya berbarengan dengan
pelaksanaan Reformasi yang mengakibatkan efuria-efuria di kalangan masyarakat maka
pelaksanaan otonomi daerah dapat juga diwarnai efuria baik dari Kepala daerah
maupun dari para anggota DPRD.
Untuk menjamin agar pelaksanaan otonomi daerah
benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, maka segenap
lapisan masyarakat baik mahasiswa, LSM, Pers maupun para pengamat harus secara
terus menerus memantau kinerja Pemda dengan mitranya DPRD agar tidak
disalahgunakan untuk kepentingan mereka sendiri, transparansi, demokratisasi
dan akuntabilitas harus menjadi kunci penyelenggaraan pemerintahan yang baik
good government dan Clean government.
Bila semua daerah otonom
dapat menyelenggarakan pemerintahan secara bersih dan demokratis, maka
pemerintah kita secara nasional pada suatu saat nanti entah kapan mungkin juga
akan dapat menjadi birokrasi yang bersih dan professional sehingga mampu
menjadi negara besar yang diakui dunia. Otonomi daerah sudah berjalan hampir
sepuluh tahun, sejak keluarnya UU Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi
menjadi UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Tapi, dalam kurun
waktu tersebut ternyata dinilai berjalan tidak efektif. Sebagai kepala daerah
yang sudah memimpin sejak otonomi daerah mulai diterapkan sampai sekarang,
sejak UU Nomor 22 tahun 1999 disahkan, tidak ada hubungan hirarki yang jelas
antara Pemerintah Provinsi dengan Kabupaten dan Kota. Setelah itu, dari tahun
1999 hingga kemudian terbit UU 32 tahun 2004 tentang Pemda, kondisi tidak
banyak berubah. Bahkan, kedudukan Pemerintah Provinsi sebagai wakil pemerintah
daerah juga tidak tegas diatur. Di sini Gubernur diberi kewenangan melakukan
pengawasan dan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tapi aturan
ini hanya semu, dan tidak pula memuat sanksi tegas bagi kabupaten dan kota yang
melanggar aturan. Paling gubernur cuma sebatas menegur bupati atau walikota
yang melanggar, kalau diindahkan ya bagus, kalau tidak ya jalan terus.
5.4.2 UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Setelah berjalan efektive
selama hampir 9 tahun, desentralisasi sebagai titik balik sentralisasi
menunujukkan wajah yang plural namun di bawah standar dari tujuan yang hendak
dicapai. Korupsi APBD, gaji dan fasilitas yang fantastis, mark up anggaran
pengadaan barang dan jasa berhimpitan dengan gizi buruk, anak putus sekolah,
bangunan sekolah reot dan roboh, kesejahteraan guru memprihatinkan, kemiskinan
dan pengangguran merupakan peristiwa yang mendominasi wajah pemerintah daerah.
Entah apakah dalam benak para elit politik daerah tidak memikirkan kaitan
antara peristiwa-peristiwa tersebut dengan perilaku mereka. Mungkin mereka
menganggap masalah kemiskinan, pengangguran, gizi buruk adalah masalah individu
di mana pemerintah hanya bisa membantu kalau bisa. Tampilan Otonomi Daerah yang
begitu paradoks tidak dapat dilepaskan dari pendekatan politik kekuasaan dalam
penyusunan Undang-Undang Pemerintahan Daerah baik UU 22 tahun 1999 maupun UU 32
tahun 2004, yang motovasi utamanya untuk menghindarkan diri dari disintegrasi,
sementara semangat untuk membangun demokrasi di tingkat lokal tidak mendapatkan
porsi yang memadai. Konstruksi yuridis UU 22 tahun 1999 maupun UU 32 tahun 2004
hanya menggeser pusat kekuasaan dari elit politik pusat kepada elit politik
daerah sebagai bentuk akomodasi politik kekuasaan terhadap usaha memisahkan
diri dari NKRI yang sebagiannya dikomandani oleh elit politik daerah, sementara
konstruksi yang mampu menciptakan tatanan yang cheks and balance antara
masyarakat dan pemerintahan daerah dilupakan oleh UU ini. Dalam hal hubungan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa kita sebut telah ada
desentralisasi namun dalam hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat
tetap mempertahankan “sentralisasi”. Padahal sentralisasi dengan beragam
bentuknya terbukti telah menyengsarakan bangsa Indonesia selama kurang lebih 60
tahun, namun nampaknya kita tidak mau belajar dari pengalaman masa lalu dan
ingin masuk pada jurang yang sama.
Motivasi untuk menghindarkan
diri dari disintegrasi bukannya tidak penting, namun harus diletakkan dalam
bingkai yang lebih strategis dan jangka panjang, yaitu demokratisasi di tingkat
lokal yang mensyaratkan adanya kesimbangan peran antara elit politik lokal
dengan masyarakat. Masyarakat secara yuridis harus diletakkan sebagai subyek,
sebagai sumber hukum dari kebijakan yang akan diambil, sementara Pemerintah dan
DPRD sebagai fasilitator untuk mengartikulasikan kebutuhan dan aspirasi rakyat,
relasi yang demikian tidak bisa hanya diletakkan dalam aras “teori” atau aras
filosofis dari UU Pemerintahan Daerah, namun harus dikonstruksi secara yuridis
agar relasi yang seimbang tersebut mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.
Sumber penyimpangan yang terjadi di daerah amat tekait
dengan kelemahan yuridis UU Pemerintahan Daerah yang tidak meletakkan peran
Pemerintah Daerah, DPRD dan masyarakat secara seimbang namun tersentral pada
Pemerintah Daerah dan DPRD, sehingga kebijakan yang diproduk hanya untuk
melayani kepentingan dan ambisi pribadi atas nama Pemerintah daerah dan DPRD
sementara kepentingan masyarakat yang seharusnya diprioritaskan diabaikan bagai
angin lalu saja. UU Pemerintahan Daerah merupakan karya DPR dan Pemerintah
sehingga mereka tidak dapat begitu saja melepas tanggungjawab atas bopengnya
wajah Pemerintah Daerah kita.
Tuntutan kelompok-kelompok
masyarakat di daerah tidak lepas dari usaha memperbaiki kelemahan UU Pemerintah
Daerah, Padahal secara teroritik maksud dan tujuan Otonomi Daerah adalah
mendekatkan satuan-satuan pengambil kebijakan dengan masyarakat sehingga antara
masyarakat dengan pengambil kebijakan terjadi saling interaksi untuk merumuskan
kebutuhan dan kepentingan bersama dalam pengambilan kebijakan. Demikian pula
dalam hal pelayanan publik, UU Pemerintahan Daerah diharapkan mampu
meningkatkan kualitas pelayanan publik karena jalur birokrasi akan terpotong
sampai di tingkat daerah, sehingga masyarakat cukup berinteraksi dengan
Pemerintah Daerah tidak perlu Pemerintah Pusat untuk mendapatkan pelayanan.Akan
Tetapi, maksud dan tujuan yang sering diwacanakan dalam konteks teori tersebut
belum pernah hadir dalam kenyataan, yang terjadi justru sebaliknya, kebijakan
dirumuskan secara oligarkhi oleh Pemerintah dan DPRD tanpa keterlibatan rakyat,
APBD yang merupakan akumulasi sumber daya publik ramai-ramai jadi bancakan
untuk dikorupsi, fasilitas untuk para pejabat dipilih yang paling mewah, Kepala
Daerah dan DPRD bekerjasama menggelembungkan pendapatan (PP 109 tentang
Kedudukan Keuangan Kepala Dearah dan Wakil Kepala Daerah menjadi pedoman
besaran prosentase pendapatan DPRD seperti yang diatur dalam PP 24 tentang
Kedudukan Keuangan DPRD, sehingga kalau DPRD ingin menaikkan pendapatan harus
terlebih dahulu menaikkan pendapatan Kepala Daerah), jalan-jalan berkedok
perjalanan dinas, sementara disisi yang lain kita saksikan rakyat mengalami
penderitaan yang luar biasa.
UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, seharusnya merupakan perbaikan atas kelemahan-kelemahan UU
22 tahun 1999, namun justru UU 32 tahun 2004 dibuat dalam kondisi
ketergesa-gesaan, dalam momentum Pilpres langsung yang perhatian sebagian besar
masyarakat tertuju dan tidak melibatkan stake holder daerah (top down),
terkesan UU 32 tahun 2004 hanya ingin memasukkan ketentuan tentang Pilkada
Langsung dalam bingkai Otonomi Daerah karena tekanan publik yang sangat kuat
(Ketentuan ini menjadi polemik tentang apakah Pilkada Langsung masuk rezim
Pemilu atau tidak), UU 32 tahun 2004 tidak menyelesaikan masalah mendasar dalam
pelaksanaan Otonomi Daerah misalnya penggunaan kekuasaan secara oligarkhis yang
berujung pada penyimpangan APBD, pelayanan publik yang mahal, peraturan daerah
yang membebani masyarakat dan dunia usaha.
Dalam rangka memperkuat
penerapan Otonomi Daerah sistem perwakilan kita telah diubah dari sistem satu
kamar (Unikameral) menjadi sistem dua kamar (bicameral) terdiri dari DPR
sebagai representasi jumlah warga negara dan DPD sebagai representasi wilayah
(teritori). DPD punya peran memperjuangkan kepentingan daerah dalam pengambilan
kebijakan di tingkat nasional, meskipun belum strong bicameralisme namun DPD
sebagai representasi daerah mempunyai legitimasi politik yang kuat karena
dipilih secara langsung oleh rakyat, sehingga amat tepat bila DPD mempelopori
revisi UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan proses yang buttom
up belajar dari proses yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah yang top down
sehingga tidak mampu menjawab persoalan namun menimbulkan persoalan baru.
Harapan atas perbaikan kondisi daerah sebagiannya diatas pundak DPD apakah DPD
akan melakukan itu atau adanya sama dengan tidak adanya untuk tidak mengatakan
“sia-sia” saja.
5.5 Dampak Otonomi Daerah Pada SDA
Penyelenggaraan pemerintah
daerah , sesuai dengan UUD 1945, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraaan masyarakat melalui
peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta
peningkatan daya saing daerah. Otonomi daerah merupakan realisasi dari ide
desentralisasi (Imawan, 2005). Daerah otonom merupakan wujud nyata dan
dianutnya asas devolusi dan dekonsentrasi sebagai makna dari desentralisasi
sendiri. Dalam konteks ini, otonomi harus dipahami secara fungsional.
Maksudnya, orientasi otonomi seharusnya pada upaya pemaksimalan fungsi
pemerintahan (pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan) agar dapat dilakukan
secepat, sedekat, dan setepat mungkin dengan kebutuhan masyarakat.
Pada hakekatnya, otonomi
merupakan wujud nyata desentralisasi. Dalam bahasa yang sederhana otonomi
adalah suatu keadaan yang tidak tergantung pada siapa pun. Dalam bahasa yang
lebih politis, dalam konteks hubungan pusat-daerah, otonomi merupakan sebuah kewenangan
yang dimiliki oleh daerah untuk mengatur sistem administrasi birokrasi,
keuangan, kebijakan publik, dan hal-hal lain, dalam batasan-batasan yang telah
ditetapkan dan disepakati bersama.
Penerapan desentralisasi dan
otonomi daerah di Indonesia, sesuai dengan Bhineka Tunggal Ika kita, yang
terdiri dari ribuan pulau, ratusan kultur dan subkultur yang menyebar di
seluruh nusantara. Dengan berdasarkan pada variasi lokalitas yang sangat
beragam itu, maka sangat tepat untuk menerapkan otonomi daerah. Hal ini akan
memberi peluang seluas luasnya bagi tiap daerah untuk berkembang sesuai potensi
alam dan sumber daya manusia yang ada di masing masing daerah dan kemudian akan
menciptakan suasana kompetisi antar daerah dalam mewujudkan kesejahteraan bagi
rakyatnya.
Sumber daya alam menurut
Undang-undang 32 tahun 2009, Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup
yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan
membentuk kesatuan ekosistem.Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi
seluas-luasnya. Pasal 10 UU No.32 Tahun 2004, pemerintah daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh UU ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Dalam
penguasaan SDA yang ada di Kaltim, prinsip otonomi yang seluas-luasnya memberi
konseweksi pada perubahan dalam pengelolaan SDA di daerah. Sebagai contoh di
Kaltim untuk bidang pertambangan. Untuk izin IUP Kaltim sampai tahun 2011
mencapai 1275, tidak termasuk ijin HPH, Perkebunan dan lain-lain. Dampak yang
dirasakan, secara postif dengan adanya peningkatan PAD, Terbukanya kawasan,
investasi, tenagakerja, Namun penguasaan SDA di Kaltim, sejak diberlakukan UU
No.22 Tahun 1999 jo UU No.32 Tahun 2004, telah membawa dampak negative terhadap
lingkungan hidup, ekspoiltasi SDA sekarang telah melebihi daya dukung dan daya
tampung lingkungan. Eksploitasi ini membawa pada kerusakan dan menurunnya
kualitas lingkungan hidup di Kaltim. Penguasaan SDA juga bermasalah terhadap
bagi hasil pada daerah Propinsi Kaltim terhadap peimbangan keuangan antara
pusat dan daerah.
Hal lain yang membuat
penguasaan SDA hancur, karena pimpin didaerah, berlaku sebagai raja-raja kecil
didaerah yang punyi otoritas kekuasan dan kewenangan untuk melakukan perubahan
dalam membuat kebijakan yang berhubungan dengan SDA. Kesempatan inilah yang dibuat untuk mengubah
semua kebijakan dalam pengelolaan SDA, sehingga pada akhirnya SDA dijual murah,
tanpa perlindungan lingkungan dan mengabaikan kepentingan masyarakat setempat.
Dengan prinsip otonomi yang dimiliki kepala daerah, banyak melakukan kebijakan
dan izin-izin baru dalam pengelolaan SDA yang tidak berbasis, penataan ruang,
tata kelola SDA, lingkungan hidup. Kebanyakan kebijakan berorintasi pada
kepentingan sesaat, selagi menjabat, dan mengespoiltasi apapun dengan cepat,
tanpa memikir dampak yang timbulkan untuk generasi yang akan datang.
Dalam kajian legal spirit
desentralisasi dalam penguasaan negara atas sumber daya alam pasca UU
Berlakunya UU No.22 Tahun 1999 jo UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, telah menjadi pintu awal dimulainya suatu usaha untuk membangun
daerahnya dengan memanfaatkan potensi daerah berupa SDA dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan.
Pada hakekatnya otonomi
daerah yang ingin dibangun merupakan upaya untuk mendekatkan sistem pengelolaan
sumber alam pada masyarakat di daerah, agar masyarakat yang bersangkutan dapat
merasakan manfaat ekonomi dari eskploitasi sumber daya alam yang didaerahnya.
Demikian juga pengalaman dari penguasaan sumber daya alam yang sentralistik di
masa lalu, telah memberikan pelajaran berharga bagi pemerintah yang lebih
banyak berpihak pada pemilik modal yang besar dan investor-investor baik dari
dalam maupun luar negeri dengan menggunkan teknologi maju justru menimbulkan
kerusakan dan kehancuran lingkungan yang tidak terkendali dan konflik pada
tataran masyarakat. Secara konseptual subtansansi perundang-undangan yang
berkaitan dengan hubungan hukum penguasaan sumber daya alam, ini tidak sesuai
lagi dengan tujuan awalnya, hal ini karena ketentuan yang terdapat didalamnya
telah memberikan kekuasaaan yang sangat besar kepada pemerintah daeraj untuk
mengatur dan mengurus segala sesutu yang berkaitan dengaan sumber daya alam,
sehingga kekuasaan yang dimiliki oleh daerah lambat alut menegasikan keberadaan
masyarakat dan yang ada kepentingan modal yang didahulu, bukan kepentingan
rakyat atau masyarakat sekitar sumber daya alam.
5.6 Tinjauan Kritis
Undang-undang Otonomi Daerah
Sebagai sumber hukum
tertinggi dalam melakukan pengelolaan dan pengusahaan terhadap sumber daya alam (SDA) di Indonesia
adalah Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.Di
dalam pasal tersebut diirumuskan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Otonomi daerah telah
memberikan kewenangan kepada Kabupaten/Kota dengan ketentuan Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta Peraturan Pemerintah Nomor
25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai
Daerah Otonomi dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Dengan adanya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
beserta Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi, peraturan ini pada pokoknya
memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah
secara proposional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan
sumberdaya nasional serta dengan memperhatikan potensi keanekaragaman daerah.
Realita menunjukkan pembangunan didaerah dihadapkan pada permasalahan pokok. Meningkatnya kegiatan ekonomi
menyebabkan banyaknya permintaan barang dan jasa, terutama yang disediakan alam
dan memberi dampak negatif pada ketersediaan sumberdaya alam dan lingkungan.
Kecenderungan ini tercermin dari meningkatnya kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi sumberdaya alam. Hal ini berpengaruh pada penurunan kualitas dan
kuantitas sumberdaya alam, dan lingkungan hidup yang pada akhirnya akan menjadi
ancaman bagi kelangsungan kehidupan rakyat.
Berbagai pengalaman
selama ini menunjukkan bahwa pembangunan yang berorientasi pada aspek ekonomi
tanpa pendekatan pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan yang meliputi aspek
pelestarian, kesejahteraan dan sosial ternyata hanya memberikan manfaat dalam
jangka pendek. Pesatnya peningkatan pertumbuhan populasi, teknologi dan disisi
lain semakin terbatasnya sumberdaya dan rendahnya mutu lingkungan dituntut
adanya pola pembangunan yang terencana dengan baik, realistik dan strategik dan
bernuansa lingkungan yang dalam jangkan panjang dapat menjamin pemanfaatan
sumberdaya secara berkelanjutan. Sebagaimana lazimnya setiap pemerintah daerah
berusaha sedapat mungkin mengembangkan potensi yang ada untuk menunjang biaya
pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan pada dasarnya
merupakan suatu rangkaian usaha terencana yang dilakukan secara sadar oleh
suatu masyarakat dan bangsa bersama pemerintah untuk mengubah suatu keadaan
yang kurang baik menjadi lebih baik dengan cara melakukan proses pengolahan
sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan memanfaatkan teknologi untuk
memenuhi masyarakat yang semakin kompleks dan terus berkembang yang disebabkan
oleh laju pertambahan penduduk. Keadaan ini akan membawa dampak negatif jika
tidak ditata sejak dini dengan
melaksanakan konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.
Hal ini disebabkan karena banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh
daerah-daerah perkotaan di Indonesia. Melihat kecenderungan perkembangan dan
tantangan pembangunan daerah-daerah perkotaan dimasa yang akan datang, perlu
juga diperhatikan agar pembangunan dilakukan dan dipersiapkan sedini mungkin,
salah satu kebijakan yang dapat dioperasikan adalah meningkatkan dan
memantapkan peran pemerintah daerah sebagai fasilitator untuk mendorong peran
swasta dan masyarakat dalam pembangunan dipedesaan, dengan menciptakan iklim
yang kondusif bagi peran serta masyarakat, sehingga mutu atau kualitas
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dapat diwujudkan. Seperti kita
ketahui bahwa kondisi umum yang ada
selama ini, konsep pembangunan berkelanjutan
diletakkan hanyalah
sebagai kebijaksanaan saja. Namun, didalam pengalaman prakteknya, justru
terjadi pengelolaan sumber daya alam yang tidak terkendali dengan akibat
kerusakan lingkungan yang mengganggu kelestarian alam. Kekuatiran ini juga didukung oleh Santoso,
dimana dalam pengamatannya ada beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya kekuatiran munculnya pembangunan yang
eksploitatif di era otonomi daerah, diantaranya :
1. tidak adanya
perubahan paradigma pembangunan;
2. tingkat
penataan lingkungan sangat rendah;
3. Sumberdaya
alam masih diperlakukan sebagai asset penopang perolehan PAD.
4. masih
terbatasnya sumberdaya alam manusia yang handal;
5. tidak adanya
strategi.
Hal ini timbul karena luasnya ruang lingkup pembangunan
daerah terutama dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang belum didukung
oleh kesiapan dan kemampuan sumber daya manusia dan aparatur pemerintah
daerah yang memadai serta belum adanya
perangkat peraturan bagi pengelolaan sumber daya alam di daerah. Untuk itulah
kebijakan dan program pembangunan nasional ditetapkan sesuai dengan amanat
konstitusi berdasarkan visi bangsa Indonesia yang ingin dicapai yaitu
terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai demokratis, berkeadilan, berdaya
saing, maju dan sejahtera, dalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia yang
didukung manusia Indonesia yang sehat, mandiri,
beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum
dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja
yang tinggi serta disiplin. Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dalam proses
pembangunan dapat berjalan dengan baik dengan adanya peranserta masyarakat
dalam pembangunan amat penting pengaruhnya dalam upaya meningkatkan daya guna
pembangunan terkait dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pembangunan.
Dalam rangka mewujudkan
visi yang dimaksud di atas telah ditetapkan salah satu misi pembangunan ekonomi
nasional, yaitu pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional,
terutama pengusaha kecil, menengah dan koperasi, dengan mengembangkan sistem
ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan berbasis
pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju,
berdaya saing, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan. Pengelolaan lingkungan dilakukan berdasarkan
pengelolaan atas dasar batas sistem ekologi suatu kawasan akan menjadi tidak
efektif karena adanya batasan administratif masing-masing daerah otonom.
Pembagian batas wilayah pengelolaan yang dipaksakan tersebut memunculkan dilema
yang saat ini sedang dihadapi oleh pemerintah kabupaten/kota. Dilema
pengelolaan sumber daya alam dalam lingkup satu wilayah administratif relatif
lebih kecil dibandingkan pengelolaan sumber daya alam yang lintas batas
administratif, bahkan pengelolaan sumber daya alam lintas batas tersebut
merupakan salah satu sumber konflik antara beberapa wilayah kabupaten/kota.
Bertitik tolak dari
kondisi yang sedang terjadi di atas, perlu segera dirumuskan sebagaimana
menyikapi penerapan otonomi daerah dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup
dan sumberdaya alam baik yang berada dalam batas administratif satu daerah otonom maupun
sumberdaya alam yang lintas batas administratif. Forum dialog merupakan wahana
yang tepat untuk menselaraskan kembali,
antara kerangka kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang berwawasan
lingkungan di satu-sisi dengan adanya pelimpahan wewenang kepada pemerintah
kabupaten/kota. Untuk mengatasi berbagai masalah di bidang pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup, telah ditetapkan salah satu prioritas
pembangunan ekonomi nasional, yaitu mempercepat pemulihan ekonomi dan
memperkuat landasan pembangunan ekonomi berkelanjutan dan berkeadilan
berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan. Pembangunan sumber daya alam dan
lingkungan hidup dalam bab ini menjadi acuan bagi kegiatan berbagai sektor
pembangunan agar tercipta keseimbangan dan kelestarian fungsi sumber daya alam
dan lingkungan hidup sehingga keberlanjutan pembangunan tetap terjamin. Pola
pemanfaatan sumber daya alam seharusnya dapat memberikan akses kepada
masyarakat adat dan lokal, bukan terpusat pada beberapa kelompok masyarakat dan
golongan tertentu. Dengan demikian pola pemanfaatan sumber daya alam harus
memberi kesempatan dan peran serta aktif masyarakat adat dan lokal, serta
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola sumber daya alam secara
berkelanjutan. Peranan pemerintah dalam perumusan kebijakan pengelolaan
lingkungan hidup harus dioptimalkan karena hal ini sangat penting peranannya
terutama dalam rangka meningkatkan pendapatan negara melalui mekanisme pajak,
retribusi dan bagi hasil yang jelas dan adil, serta perlindungan dari bencana
ekologi. Sejalan dengan otonomi daerah, pendelegasian secara bertahap wewenang
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya. alam
dimaksudkan untuk meningkatkan peranan masyarakat lokal dan tetap terjaganya
fungsi lingkungan. Otonomi daerah merupakan potensi utama dalam pengelolaan
lingkungan hidup dengan lebih baik, dalam perwujudan pemerintahan yang baik,
tuntutan kualitas sumberdaya manusia
sangat diperlukan dalam rangka implementasi
otonomi daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup, yaitu dengan adanya :
1. Visi dan
orientasi yang menghargai keterbatasan daya dukung lingkungan (pro nature).
Visi yang demikian diharapkan mampu memadukan aspek ekonomi, sosial, dan
lingkungan.
2. Profesional,
terbuka, akuntabel. Syarat inin diperlukan dalam menciptakan pemerintahan yang
kuat (profesional) tetapi responsif terhadap kepentingan, aspirasi dan tuntutan
masyarakat.
3. Konsisten dan
memiliki integritas, hal ini diperlukan dalam penegakan hukum. Penegakan hukum
mempersyaratkan lembaga peradilan yang independen dan tidak memihak.
4. Berpikir dalam
kerangka sistem dan holistic (bukan parsial dan ego daerah).
5. Daya kritis
dan partisipatif dari masyarakat. Sebagaimana diketahui, salah satu pendorong
penataan lingkungan (environmental complience) adalah adanya tekanan
masyarakat. juga merupakan kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Karena itu
diperlukan daya kritis dan peran aktif masyarakat dalam penyusunan kebijakan
dan implementasi.
Daya
kritis tentang lingkungan seharusnya perlu dilarutkan dalam agenda politik,
kinerja wakil rakyat dan parpol harus dievaluasi dari aspek lingkungan. Kontrol
masyarakat dan penegakan supremasi hukum dalam pengelolaan lingkungan hidup dan
pelestarian fungsi lingkungan hidup merupakan hal yang penting, yang
menyebabkan hak-hak masyarakat untuk menggunakan dan menikmatinya menjadi
terbuka dan mengurangi konflik, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal.
Jika semua
pihak telah melarutkan aspek lingkungan dalam pertimbangan kebijakannya, maka aspek lingkungan
akan inheren dalam perilaku sehari-hari. Jika terjadi penyimpangan, akan
mendapat teguran dari yang melihatnya. Perilaku yang demikian ini merupakan
bagian penting dari self regulation dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Kemudian sistem hukum yang baik juga sangat diperlukan dalam pengelolaan
lingkungan hidup, dimana hukum lingkungan harus memiliki perspektif
berkelanjutan, penghormatan hak-hak asasi manusia, demokrasi, kesetaraan
gender, dan pemerintahan yang baik (good governance). Peraturan perundangan
yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup harus dapat mengurangi tumpang
tindih peraturan penguasaan dan pemanfaatan dalam rangka mewujudkan keselarasan
peran antara pusat dan daerah serta antar sektor. Selain itu, peran serta aktif
masyarakat dalam memanfaatkan akses dan mengendalikan kontrol terhadap
penggunaan sumber daya alam yang terdapat
pada lingkungan hidup harus lebih optimal karena dapat melindungi
hak-hak publik dan hak-hak masyarakat adat. Kemiskinan akibat krisis ekonomi
disertai melemahnya wibawa hukum perlu
diperhatikan agar kerusakan sumber daya alam tidak makin parah, termasuk penjarahan terhadap hutan, kawasan
konservasi alam dan sebagainya. Meningkatnya intensitas kegiatan penduduk dan
industri perlu dikendalikan untuk mengurangi kadar kerusakan lingkungan
dibanyak daerah antara lain pencemaran
industri, pembuangan limbah yang, tidak memenuhi persyaratan teknis dan
kesehatan, penggunaan bahan bakar yang tidak aman bagi lingkungan, kegiatan
pertanian penangkapan ikan dan pengelolaan hutan yang mengabaikan daya dukung
dan daya tampung lingkungan.
Dalam memperhatikan permasalahan dan kondisi sumber daya
alam dan lingkungan hidup dewasa ini, kebijakan di bidang pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan hidup ditujukan pada upaya :
a.
Mengelola sumber daya
alam dan lingkungan hidup, baik yang dapat diperbaharui maupun tidak dapat
diperbaharui melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikan
daya dukung dan daya tampungnya;
b.
Penegakan hukum secara
adil dan konsisten untuk menghindari perusakan dan/atau pencemaran lingkungan
hidup;
c.
Mendelegasikan
kewenangan dan tanggung jawab kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan
lingkungan hidup secara bertahap;
d.
Memberdayakan masyarakat
dan kekuatan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup
bagi peningkatan kesejahteraan lokal;
e.
Menerapkan secara
efektif, penggunaan indikator-indikator untuk mengetahui keberhasilan
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup;
f.
Memelihara kawasan
konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasan konservasi bagi di wilayah
tertentu;
g. Mengikutsertakan masyarakat dalam rangka menanggulangi
permasalahan lingkungan global.
Sasaran yang ingin dicapai adalah terwujudnya pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan dan berwawasan keadilan
seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat lokal serta meningkatnya
kualitas lingkungan hidup sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan, serta
terwujudnya keadilan antar generasi, antar dunia usaha dan masyarakat dan antar
negara maju dengan negara berkembang dalam pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan hidup yang optimal.
Pembangunan nasional di bidang lingkungan hidup pada dasarnya merupakan
upaya untuk mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan
hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya
masyarakat lokal, serta penataan ruang Sebagaimana lazimnya setiap pemerintah
daerah berusaha sedapat mungkin mengembangkan potensi yang ada untuk menunjang
biaya pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan pada
dasarnya merupakan suatu rangkaian usaha terencana yang dilakukan secara sadar
oleh suatu masyarakat dan bangsa bersama pemerintah untuk mengubah suatu
keadaan yang kurang baik menjadi lebih baik dengan cara melakukan proses
pengolahan sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan memanfaatkan teknologi
untuk memenuhi masyarakat yang semakin kompleks dan terus berkembang yang
disebabkan oleh laju pertambahan penduduk. Keadaan ini akan membawa dampak
negatif jika tidak ditata sejak dini dengan melaksanakan konsep pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Hal ini disebabkan karena
banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh daerah-daerah perkotaan di Indonesia.
Melihat kecenderungan perkembangan dan tantangan pembangunan daerah-daerah
perkotaan dimasa yang akan datang, perlu juga diperhatikan agar pembangunan
dilakukan dan dipersiapkan sedini mungkin, salah satu kebijakan yang dapat
dioperasikan adalah meningkatkan dan memantapkan peran pemerintah daerah sebagai fasilitator
untuk mendorong peran swasta dan masyarakat dalam pembangunan dipedesaan,
dengan menciptakan iklim yang kondusif bagi peran serta masyarakat, sehingga
mutu atau kualitas pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dapat
diwujudkan. Seperti kita ketahui bahwa kondisi umum yang ada selama ini, konsep
pembangunan berkelanjutan diletakkan
hanyalah sebagai kebijaksanaan
saja. Namun, didalam pengalaman prakteknya, justru terjadi pengelolaan sumber
daya alam yang tidak terkendali dengan akibat kerusakan lingkungan yang
mengganggu kelestarian alam.
Didalam
Pasal 17 (1) Undang-undang 32 tahun 2004 Hubungan dalam bidang pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan pemerintahan
daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a. Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan,
pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian;
b. Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya; dan
c. Penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi
lahan.
(2)
Hubungan dalam bidang pemanfaatan.. sumber daya alam dan sumber daya lainnya
antar pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasa1 2 ayat (4) dan ayat
(5) meliputi:
a. Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya yang menjadi kewenangan daerah;
b. Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya
alam. Dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah; dan
c. Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber
daya alam dan sumber daya lainnya.
(3) Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 18 (1) Daerah yang
memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di
wilayah laut. (2) Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya
alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. (3) Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di
wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan
kekayaan laut;
b. pengaturan administratif;
c. pengaturan tata ruang;
d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh
daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;
e. ikut serta dalam
pemeliharaan keamanan; dan
f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
Mengenai rumusan di muka tidak pernah ada penjelasan atau
kejelasan resmi tentang makna “dikuasai oleh negara” Namun satu hal yang telah
disepakati bahwa dikuasai oleh negara tidak sama dengan dimiliki negara.
Kesepakatan ini bertalian dengan atau suatu bentuk reaksi dari system atau
konsep “domein” yang dipergunakan pada masa kolonial Hindia Belanda.
Konsep
atau lebih dikenal dengan “asas domein” , mengandung pengertian kepemilikan
(ownership). Negara adalah pemilik atas tanah, karena itu memiliki segala
wewenang melakukan tindakan yang bersifat kepemilikan (eigensdaad).
UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Agraria (UUPA)
merumuskan makna “hak menguasai negara” sebagai wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan perubahan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.
Selanjutnya disebutkan
wewenang menguasai tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dan pelaksanaannya
dapat dikuasakan kepada daerah dan masyarakat hukum adat. Dalam penjelasan umum lebih ditegaskan bahwa
negara tidak memiliki , melainkan bertindak selaku pemegang kekuasaan. Jadi
bersifat publik atau kepemerintahan belaka (bestuursdaad). Yang seringkali
dilupakan adalah tujuan dari dikuasai Negara. Baik dalam UUD 1945 maupun UUPA
ditegaskan bahwa hak menguasai oleh Negara adalah untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Berdasarkan tujuan tersebut, setidak-tidaknya ada
larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar, yaitu :
a. Apabila dengan itikad baik
tanah-tanah telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh rakyat, maka kenyataan itu
harus dihormati dan dilindungi. Keberadaan rakyat di tanah-tanah tersebut
merupakan salah satu penjelmaan dari tujuan kemakmuran rakyat. Rakyat harus
mendapat hak didahulukan dari pada occupant baru yang menyalahgunakan
formalitas-formalitas hukum yang berlaku;
b. Tanah yang dikuasai Negara tetapi telah dimanfaatkan
rakyat dengan itikad baik (ter geode trouw) hanya dapat dicabut atau diasingkan
dari mereka, semata-mata untuk kepentingan umum, yaitu untuk kepentingan sosial
dan atau kepentingan Negara;
c. Setiap pencabutan atau pemutusan hubungan hukum atau
hubungan konkrit yang diduduki atau dimanfaatkan rakyat dengan itikad baik,
harus dijamin tidak akan menurunkan status atau kualitas hidup mereka karena
hubungan mereka dengan tanah tersebut.
Berdasarkan logika di
atas, maka semestinya makna dikuasai oleh Negara mengandung arti :
1. Hak (Negara)
itu harus dilihat sebagai antitesis dari asas domein yang memberi wewenang
kepada Negara untuk melakukan tindakan kepemilikan yang bertentangan dengan
asas kepunyaan menurut adat istiadat. Hak kepunyaan didasarkan pada asas
komunal dan penguasa hanya sebagai pengatur belaka;
2. Hak menguasai
oleh Negara tidak boleh dilepaskan dari tujuan yaitu demi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Negara harus memberikan hak terdahulu kepada rakyat yang
telah secara nyata dan dengan itikad baik memanfaatkan tanah.
Bahan galian tambang merupakan salah satu kekayaan yang
terkandung dalam bumi dan dalam air.
Dalam bumi diartikan sebagai dipermukaan atau dibawah bumi. Di dalam air
diartikan berada di bawah air yaitu di atas atau di bawah bumi yang berair
(sungai, danau, laut , rawa). Bahan galian tambang untuk sebagian didapati di
atas permukaan bumi atau bagian permukaan bumi yang berada di bawah air. Oleh
karena itu pengertian bahan galian harus diartikan baik yang diperoleh dengan
menggali maupun dengan cara-cara mengambil di bagian permukaan bumi termasuk
permukaan bumi yang ada di bawah air.
5.7 Kesimpulan
Dari uraian dalam tulisan ini, maka dapatlah diberikan kesimpulan
demi menjawab permasalahan, yaitu :
1. Otonomi daerah telah
memberikan kewenangan penuh kepada setiap pemerintah daerah secara proporsional
untuk mengembangkan potensi yang ada dalam proses pembangunan yang terencana
dengan baik, realistik dan strategik dan bernuansa lingkungan yang dalam jangka
panjang dapat menjamin pemanfaatan sumberdaya
alam secara berkelanjutan. Oleh karena itu peran pemerintah daerah dalam
perumusan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup sangat diperlukan untuk
mengurangi terjadinya dan pemanfaatan sumberdaya alam dengan tetap
memperhatikan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan, penghormatan
hak-hak asasi manusia, demokrasi, kesetaraan gender dan pemerintah yang baik.
2. Pelaksanaan
kebijakan pengelola lingkungan hidup di Daerah merupakan bagian dari
pembangunan nasional yang sejalan dalam rangka implementasi otonomi daerah,
berbagai kebijakan dan program yang telah dilakukan bertujuan dalam rangka
peningkatan pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan dengan tetap beracuan
kepada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi sumberdaya alam
dan lingkungan serta memberikan kesempatan kepada masyarakat adat dan lokal
untuk dapat berperan aktif sehingga pembangunan berkelanjutan berwawasan
lingkungan di Daerah dapat tetap terjamin.
5.8 Saran-saran
1. Dalam penerapan otonomi
daerah pemerintah daerah diharapkan mengembangkan potensi
sumberdaya alam yang ada untuk menunjang pembangunan berkelanjutan yang
meliputi aspek pelestarian, kesejahteraan sosial dengan melakukan :
a. memperluas area hutan kota;
b. meningkatkan pelayanan
terhadap masyarakat dalam pengurusan izin;
c. melakukan sosialisasi
yang rutin kepada masyarakat dan pelaku usaha dan/atau kegiatan terhadap
pentingnya pengelolaan lingkungan hidup.
2. Diharapkan kepada
pemerintah daerah setiap mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan proses
pembangunan daerahnya tetap memperhatikan aspek pengelolaan lingkungan hidup dan
melibatkan peran serta masyarakat untuk aktif dalam pengelolaan lingkungan
hidup, sehingga secara dini dapat diantisipasi munculnya permasalahan dan
resiko lingkungan yang negatif.