Minggu, 01 Januari 2017

MATERI KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN SEKTOR PUBLIK (oleh : R. Wahyuni Triana, Dra., MS.)

KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN SEKTOR PUBLIK

KEBIJAKAN :
Chandler & Plano : “kebijakan Publik adalah pemanfaatan sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah public dan pemerintahan”. Adapun tujuannya adalah sebagai “suatu bentuk intervensi yang kontinum oleh pemerintah demi kepentingan orang_orang yang tidak berdaya dalam masyarakat agar mereka dapat hidup dan berpartisipasi dalam pemerintahan” (dalam Keban, 2008, h 60).
Peterson :”Kebijakan public secara umum dapat dilihat sebagai tindakan pemerintah dalam menghadapi masalah dengan mengarahkan perhatian terhadap “siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana” (Public Policy, 2003, 1030)

SEKTOR PUBLIK:

Sektor public adalah suatu wilayah urusan yang dipandang menjadi dan mewakili kepentingan publik banyak sehingga harus diwakilkan pada pengelolaan oleh negara. Namun Konsep ini bahkan lebih rancu karena apa yang disebut sebagai sector public berbeda antara suatu Negara dengan Negara lain (country specifiec), bahkan bisa berbeda antara suatu daerah dengan daerah yang lain. Hal ini disebabkan karena batasan antara apa yang dianggap sebagai “urusan public” dan “urusan privat” bisa berbeda antara suatu masyarakat dengan masyarakat lain, bahkan bisa berbeda dari suatu masa ke masa yang lain (time specifiec). Negara dapat mengurus sangat banyak sector public (authoritarian) atau sangat terbatas (lazier faire) karena banyak diserahkan pada mekanisme pasar (sector privat). Di Indonesia, pada bidang ekonomi setidaknya terwakilkan dalam UUD 1945 pasal 33 yang menyatakan bahwa “yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”, pada bidang sosial “fakir miskin, orang terlantar dipelihara oleh Negara”, dll.

KEPENTINGAN PUBLIK

Klasik : Kepentingan public adalah kepentingan sebagaimana yang dirumuskan oleh para pembuat kebijakan yang terpilih (elected policy makers). Dalam konsep ini berarti kepentingan public tidak harus berasal dari masyarakat langsung, tetapi yang dapat dirumuskan oleh wakil-wakilnya atau pejabat public lain yang ditunjuk untuk memutuskannya. Akibatnya seringkali apa yang diputuskan mengecewakan masyarakat karena tidak sesuai dengan aspirasi mereka.
New Public Management (NPM): menyatakan bahwa dengan diterimanya prinsip kompetisi, kewirausahaan serta gaya bisnis swasta ke dalam tata pemerintahan, maka konsep tentang kepentingan public menjadi tidak relevan lagi. Hal ini karena telah digantikan dengan koalisi dari kepentingan-kepentingan khusus yang menang.
The New Public Service (NPS): Kepentingan public adalah nilai-nilai yang disepakati bersama, yang menggambarkan apa yang dianggap bernilai oleh masyarakat atau komunitas dan dinyatakan langsung oleh masyarakat itu sendiri. Dari pendapat terakhir ini, maka apa yang disebut sebagai kepentingan public adalah apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Sayangnya untuk mengoperasionalkan konsep tersebut di atas tidak lah mudah, karena kepentingan tersebut dirumuskan melalui proses “representasi’ public. Akibatnya seringkali suatu keputusan atau kebijakan yang mengatasnamakan kepentingan public, justru lebih mencerminkan kepentingan partai/golongan/kelompok/jabatan, bahkan individu yang mengambil keputusan daripada mencerminkan kepentingan/kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Untuk mengontrol kecenderungan negative tersebut maka diperlukan doktrin “good governance, dimana pembuatan keputudan dibuat secara lebih demokratis dengan membuka akses lebih luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi dan mempertanyakan suatu keputusan eksekutif atau legislative.

PERBEDAAN ADMINISTRASI PUBLIK DENGAN ADMINISTRASI PRIVAT

Sekalipun dalam prakteknya sangat banyak prinsip-prinsip pengelolaannya yang sama : yakni mencapai tujuan secara efektif dan efisien, namun antara administrasi sector public dengan administrasi swasta dapat tetap dapat dibedakan, baik dari cara pencapaian tujuannya, orientasinya maupun dari pihak yang dilayaninya.
Untuk mencapai tujuannya, administrasi public lebih menekankan pada prinsip rasionalitas terbatas (Herbert Simon), berdasarkan administrative man model, sedang administrasi privat menekankan pencapaian tujuan berdasar pertimbangan rasionalitas optimum yang menjadi ciri economic man model. Hal ini disebabkan karena administrasi public harus mempertimbangkan nilai-nilai lain seperti keadilan, tanggung-jawab moral, keberpihakan pada yang kurang beruntung dan lemah.
Orientasi administrasi public adalah non profit, sedang orientasi administrasi swasta adalah profit. Administrasi Publik melayani kepentingan public, sedang administrasi Privat melayani kepentingan swasta/pribadi.
Selain perbedaan orientasi dan kelompok yang dilayani, perbedaan lainnya adalah ciri-ciri yang melekat pada administrasi public sebagai berikut:
1.  Kurang mendapat sentuhan pasar/tidak bergantung pada pasar.
2.  Kurang otonom karena bergantung pada pengaruh formal
3.  Mendapat pengaruh politik sangat kuat, bergantung pada dukungan dari luar.
4.  Layanannya cenderung bersifat monolistis.
5.  Keputusannya memberi dampak yang sangat luas.
6.  Kegiatannya mendapat penilaian dari public.
7.  Mendapat harapan dari public untuk bertindak adil, responsive, jujur dan bertanggung-jawab.
8.  Memiliki tujuan dan criteria yang kompleks, kurang jelas, dan tidak mudah diukur.
9.  Mendapat otoritas yang terbatas, lemah, dan para pejabatnya seringkali memiliki keengganan untuk mendelegasikan wewenang, serta terlalu ditekan secara politis oleh atasan.
10. Bersifat hati-hati sehingga kaku dalam bertindak.
11. Sulit menentukan insentif berdasarkan performance/kinerja yang ada.
12. Memiliki orang-orang yang berkarakteristik sangat bervariatif.
13. Memiliki orang-orang dengan tingkat kepuasan kerja dan komitmen yang rendah terhadap organisasinya.


BENTURAN NILAI DALAM ADMINISTRASI PUBLIK

Dalam setiap kegiatan administrasi public nyaris selalu terjadi benturan nilai yang membuat pelaksana harus memilih nilai-nilai manakah yang harus diutamakan, dan seringkali karena pilihannya tersebut pejabat public menjadi kurang dipercayai dan kurang dihargai oleh public. Perbenturan nilai tersebut misalnya tampak pada nilai efisiensi vs. nilai responsivitas, antara efisiensi dengan keadilan, antara netralitas dengan toleransi, antara netralitas dengan keberpihakan, antara derajad intervensi dengan kebebasan dan responsivitas, antara rasionalitas dengan kepuasan, dll.

Misalkan pada suatu situasi anggaran ketat yang mengharuskan peningkatan efisiensi pada kegiatan pemerintah namun di sisi lain menghadapi situasi yang juga mengharuskan adanya peningkatan kegiatan untuk menjawab kebutuhan/permasalahan public, atau untuk meningkatkan efisiensi maka pemerintah harus mengurangi subsidi BBM yang mengakibatkan dikorbankannya nilai keadilan karena masyarakat yang lemah daya belinya akan semakin terpuruk. Misalnya lagi antara nilai netralitas dan keadilan yang harus dijunjung dengan keharusan berpihak pada golongan yang lemah dan minoritas (fakir miskin, cacat, suku terasing, dlsb). Contoh lain lagi yang berkaitan dengan derajad intervensi pemerintah dalam kehidupan public, Jika mengatur terlalu banyak akan dianggap mengganggu hak-hak kebebasan dalam masyarakat, jika terlalu sedikit dianggap tidak responsive terhadap persoalan masyarakat.



TRANSFORMASI DARI PUBLIK ADMINISTRASI KE PUBLIK MANAJEMEN

1.    Bahwa organisasi pemerintah harus disusun berdasarkan hirarki birokrasi
2.    Bahwa tatakerja dan prosedur yang dijalankan dalam proses Administrasi public merupakan satu-satunya cara terbaik berdasarkan prinsip manajemen ilmiah.
3.    Bahwa layanan public sebagaimana yang diputuskan oleh pemerintah, harus dideliverykan oleh birokrasi
4.     



ISU-ISU PENTING DALAM KEBIJAKAN PUBLIK


I.1. 2. SIKLUS/PROSES KEBIJAKAN PUBLIK
Secara normative proses kebijakan memang digambarkan sebagai sebuah siklus yang bermula dari agenda setting (atau bahkan dari identifikasi masalah – masalah publik): pemilihan alternatif kebijakan: formulasi kebijakan: implementasi kebijakan (termasuk monitoring): lalu evaluasi kebijakan yang kemudian memberi feedback pada proses awal atau pada tahap lainnya. Gambaran secara normative ini sesungguhnya ditujukan untuk mempermudah kita dalam memahami proses kebijakan publik. Dari proses tersebut kita bisa mempelajari tentang peran dan interaksi antara konstitusi, legislative, kelompok kepentingan dan administrasi publik dalam proses kebijakan publik.
Secara umum tahapan – tahapan dalam pembuatan kebijakan digambarkan sebagai suatu siklus yang mengandung formulasi dari 1). disadarinya masalah yang memerlukan intervensi kebijakan; lalu bagaimana 2). mendefinisikan permasalahan sebenarnya, yakni mencari penyebab atau akar permasalahan, bukan akibat yang timbul dari masalah tersebut;  selanjutnya 3) mengidentifikasikan solusi-solusi untuk mengatasi  permasalahan tersebut. Dari berbagai solusi yang ada, kemudian 4) dievaluasi opsi-opsi yang paling memungkinkan untuk dilakukan  dengan mempertimbangkan dampaknya. Dari hasil evaluasi tersebut, maka dipilihkan opsi yang terbaik dalam bentuk sebuah kebijakan. Kebijakan tersebut itulah yang nantinya akan diimplementasikan dalam bentuk program-program sebagai bentuk intervensi nyata pemerintah terhadap permasalahan public. Hasil implementasi akan dievaluasi apakah benar program-program yang telah dilaksanakan tersebut dapat mengatasi permasalahan sebagaimana yang dimaksud atau tidak, dst. lebih jelasnya siklustersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini (Sumber: Wayne Parsons, Public Policy: h. 80)
Gambar I.1 : Siklus Kebijakan
                                                        PROBLEM
 


                        EVALUASI                                               DEFINISI PROBLEM

      RESPON/ ALTERNATIF                                                          IDENTIFIKASI SOLUSI

              IMPLEMENTASI                                                     EVALUASI OPSI
                                         
                                          
                                                 SELEKSI OPSI KEBIJAKAN

`Robert S. Mayer dan Ernest Greenwood (1984 : 12) mengatakan bahwa dalam gambaran yang lebih komprehensif, maka langkah – langkah dalam proses penyusunan kebijakan adalah :
1.    Menentukan tujuan
2.    Penilaian kebutuhan
3.    Spesifikasi sasaran – sasaran
4.    Perencanaan perangkat tindakan alternatif
5.    Perkiraan konsekuensi tindakan – tindakan alternatif
6.    Pemilihan satu (atau lebih) perangkat tindakan
7.    Implementasi tindakan
8.    Evaluasi hasil
9.    Modifikasi sasaran, tujuan, dan perangkat – perangkat tindakan berdasarkan umpan balik

          Dari skema tersebut tampak bahwa langkah – langkah penyusunan kebijakan adalah langkah – langkah yang penuh pertimbangan dan bersifat sangat rasional sampai ke tingkat pemilihan perangkat – perangkat tindakan, sehingga peran para pelaksana tinggal menjalankan perangkat tindakan yang telah dipilih tersebut. Teknik-teknik dan prinsip-prinsip pembuatan keputusan rasional juga telah banyak dikembangkan untuk mempermudah pejabat public memperoleh alternative terbaik dalam pembuatan kebijakan guna memperoleh solusi terbaik bagi masalah public. Teknik-teknik tersebut misalnya Prinsip Pareto’s Optimality atau Doctrine or Maximum Satisfaction (bahwa kebijakan dapat diterima jika minimal menguntungkan satu orang dan tidak merugikan seorangpun); Penggunaan analisis sistematik atau rational comprehensive untuk menghindari perilaku tidak rasional dalam pembuatan keputusan (Daniel Lerner & Harold D. Laswell, 1951); dll.
          Kendati Mayer & Green Wood juga menegaskan bahwa dalam tahap implementasi mungkin akan memerlukan proses perencanaan sendiri, namun perencanaan yang berkaitan dengan implementasi tak lebih sebagai program atau perencaan administratif (hal 17 – 18).
Tentu saja gambaran demikian berperspektif sangat top-down, seolah seluruh factor penentu keberhasilan kebijakan mencapai tujuannya dapat diperhitungkan sebelumnya dan mereduksi peran implementor menjadi sekedar pelaksanaan tugas yang bersifat admnisitratif belaka.
          Dalam paparan yang lebih rinci, Randall P. Ripley (Policy Analysis in Political Science, 1985: bab 1) memberikan gambaran yang sedikit berbeda (lihat gambar 1.3). Ripley tidak menafikan adanya penafsiran oleh implementors atas kebijakan yang telah ditetapkan. Ruang penafsiran ini bisa bernuansa politis, bisa juga karena situasi dan kondisi yang mengharuskan adanya penafsiran yang berbeda saat kebijakan harus dilaksanakan.

Gambar I.3 : POLICY PROCESS, ACTIVITIES AND PRODUCTS
STAGE AND ACTIVITIES :                                             PRODUCTS

AGENDA SETTING:
- PERCEPTION OF PROBLEMS
- DEFINITION OF PROBLEMS
- MOBILIZATION OF SUPPORTS


PROGRAM IMPLEMENTATION
- RESOURCES
- INTERPRETATION
- PLANNING
- ORGANIZING
- PROVIDING BENEFITS, SERVICES, COERCION
EVALUATION OF PERFORMANCE AND IMPACTS
DECISISONS ABOUT THE FUTURE OF POLICIES/ PROGRAMS
POLICY & PROGRAM PERFORMANCE
POLICY ACTION
FORMULATION AND LEGITIMATION GOALS AND PROJECTS
- INFORMATION COLLECTION, ANALYSIS DISSEMINATION
- ALTERNATIVE DEVELOPMENT
- ADVOCACY AND COALITION
- COMPROMIZE, NEGOITATION
POLICY STATEMENT :
-    GOALS AND DESIGN PROGRAMS
-    STATUTE

AGENDA OF GOVERNMENT                                                                  

PRODUCES
NECESSISTATES
PRODUCES
LEADS
TO
STIMULATES
LEADS  TO
PRODUCES
LEADS TO
 























Dari 3 gambaran yang dipaparkan  tampak seolah selalu ada langkah – langkah pasti dalam penyusunan kebijakan, yang dimulai dari:
1.    Identifikasi adanya masalah atau kebutuhan (publik) yang memerlukan penanganan/ intervensi pemerintah.
  1. Penilaian atas masalah/ tujuan tersebut apakah akan masuk menjadi agenda pemerintah atau tidak. Penilaian atas apa yang akan menjadi agenda pemerintah atau, tidak bisa bersifat sangat politis dan juga bisa diwarnai pertarungan memperebutkan pengaruh politik.
3.    Penetapan agenda pemerintah untuk menjadi  prioritas utama pembangunan
4.    Proses formulasi kebijakan yang berlangsung di tingkat eksekutif dan legislative. Proses ini (seharusnya) berlangsung sangat rasional dalam pemilihan alternatif – alternatif tindakan (Mayer dan Greenwood), atau Rasional terbatas (Herbert A. Simon) karena juga sarat aktifitas politik berupa advokasi, koalisi, negosiasi, ataupun kompromi (Ripley).
5.  Legimitasi kebijakan di tingkat legislative, yang di dalamnya terkandung dasar hukum, sasaran – sasaran yang ingin dicapai, sekaligus program – program/ perangkat – perangkat tindakan yang harus dilaksanakan.
6. Implementasi (program) kebijakan
7. Evaluasi atas hasil implementasi
8. Umpan balik
Ide tentang tahapan dalam proses kebijakan publik tersebut merupakan kontribusi pemikiran dari Harold Laswell, Herbert Simon, dan David Easton tentang pembuatan keputusan yang rasional. Teknik-teknik dan prinsip-prinsip pembuatan keputusan rasional memang telah banyak dikembangkan untuk mempermudah pejabat public memperoleh alternative terbaik dalam pembuatan kebijakan guna memperoleh solusi terbaik bagi masalah public.
Pada kenyataannya bahkan langkah – langkah terinci yang sangat rasional yang telah dipilihkan oleh pembuat kebijakan, tidaklah menjamin implementasi akan berjalan sesuai dengan harapan dan kehendak pembuatnya, karena nuansa politik tidak hanya berhenti saat kebijakan sudah diputuskan, tapi juga berlanjut saat kebijakan dilaksanakan. Charles Lindblom adalah yang menentang ide tahapan rasional dalam siklus kebijakan publik, katanya: “ Langkah – langkah yang tercatat dan penuh pertimbangan bukanlah gambaran yang akurat tentang bagaimana proses kebijakan bekerja, karena proses kebijakan merupakan proses yang interaktif dan kompleks, tanpa awal dan tanpa akhir” (dalam Wayne Parsons: 24). Oleh karenanya Lindblom dalam The Science of Muddling Through, menyarankan agar kebijakan sebaiknya dilakukan secara incremental, bukan rasional komprehensif karena permasalahan di lapangan tidak seluruhnya dapat dihitung dan dirasionalkan.
Ide tahapan rasional dalam pembuatan kebijakan juga dikritik dan disebut sebagai paradigma textbook dianggap memiliki kelemahan utama, antara lain seperti yang disimpulkan dari pernyataan Sabatier yakni :
1.    Tidak memberikan penjelasan kausal bagaimana kebijakan bergerak dari satu tahapan ke tahapan berikutnya.
  1. Tidak bersifat empiris
  2. Kebijakan publik dianggap sebagai kebijakan “top-down” dan gagal menjelaskan peran aktor street level dan aktor lainnya
  3. Mereduksi dunia nyata dalam pembuatan kebijakan yang melibatkan berbagai level pemerintahan dan siklus yang saling berinteraksi.
Kendati memiliki kelemahan, pendekatan tahapan rasional dalam proses pembuatan kebijakan ini sangat membantu kita memahami proses kebijakan karena mereduksi kompleksitasnya dan menjadikannya lebih mudah dipahami.


PERGESERAN PARADIGMA
Sekalipun semua prinsip tersebut memberi sumbangan terhadap kualitas dalam pembuatan kebijakan publik, tetapi pada kenyataannnya kebijakan seringkali tetap dirasa tidak memuaskan masyarakat. Theodore Lowi (1969) menyatakan bahwa yang tidak beres dalam pembuatan kebijakan bukanlah teknik yang digunakan, tetapi justru kecenderungan para kelompok kepentingan tertentu yang mendominasi pembuatan keputusan, untuk memenuhi kepentingan mereka dengan mengorbankan kepentingan public.
Untuk mengatasi kecenderungan tersebut di atas, maka setidaknya ada tiga hal yang sangat perlu diperhatikan pada tahapan tersebut agar setidaknya kebijakan tersebut bernilai dan berpihak pada kepentingan public. Tahap tersebut adalah :
1.  Identifikasi Masalah.
Indikator adanya masalah public yang harus diintervensi melalui kebijakan dapat diperoleh melalui berbagai sumber baik tertulis maupun aksi. Sumber tertulis misalnya data indicator sosial, data sensus, data survey nasional, isu yang diangkat oleh media massa, dlsb. Pada tahap ini agar kebijakan tidak menjadi solving the wrong problem, maka beberapa pertanyaan penting perlu diajukan misalnya:
·         Apakah isu tersebut benar-benar merupakan masalah? Apa alasannnya, Apa buktinya, Siapa sasarannya, Apakah masalah ini sudah mendesak? Apakah dampak negatifnya jika tidak segera diintervensi?
·         Jika masalah tersebut perlu segera diintervensi, bagaimana cara mengangkat permasalahan tersebut secara persuasive agar memperoleh perhatian lebih luas dan menjadi agenda kebijakan.

2.  Pengembangan Alternatif
Pada proses ini pertanyaan yang harus dijawab adalah teori-teori atau model-model apakah yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyebab permasalahan tersebut; jika factor-faktor penyebab telah diidentifikasikan, pertanyaan selanjutnya adalah seberapa logis hubungan antara sebab (alternatives) dan akibat (permasalahan); alternative manakah yang berhubungan langsung atau paling dominan terhadap terhadap pemecahan masalah. Beragam teknik yang telah dikembangkan untuk mengembangkan alternative pemecahan masalah ini, diantaranya adalah metode brain storming, riset analisis,survey, analogi, pembuatan model, dlsb.
3. Pemilihan dan Penentuan Alternatif
Program-program adalah setiap aktifitas/kegiatan pemerintahan yang dirancang untuk mewujudkan kesejahteraan publik melalui pengelolaan barang dan  layanan publik yang memenuhi hak-hak dasar manusia. Untuk itu   penyusunan isi program/kebijakan harus memenuhi indikator pertimbangan etika yakni : Manfaat; Pemenuhan Hak; Keadilan dan Pemeliharaan/Keberlanjutan (Griffin & Ebert dalam James AF Stoner dkk :1999) dan indikator pelayanan publik1). Efektifitas program; 2). Produktifitas  keluaran yang dibutuhkan masyarakat; Efisiensi; dan Kepuasan (Ratminto & Atik : 2005). Dan  dari segi operasionalnya mampu memenuhi kriteria kelayakan ekonomi, teknis dan administrasi (INTERPLAN :1969).
          Selain itu pada perkembangan selanjutnya dikenal juga 5 paradigma dalam pembuatan kebijakan public (Bobrow & Dryzek, 1987), yang dapat menjadi rambu-rambu dalam penyusunan kebijakan public, yakni:
1.    Welfare economic, yakni bahwa setiap alternative keputusan untuk kebijakan publik hendaknya diperhitungkan untung ruginya dari segi ekonomi (prinsip rasional komprehensif) dan kemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat.
2.    Public Choice, yakni dalam memilih alternative kebijakan, harus mengutamakan keputusan yang dibuat oleh lembaga yang mengatasnamakan atau mewakili kepentingan public.
3.    Social Structure,  bahwa dalam memilih alternative kebijakan harus memperhitungkan kepentingan dari berbagai lapisan masyarakat yang ada, termasuk manfaat yang dapat mereka nikmati dan dampak yang mungkin mereka hadapi.
4.    Information Processing, yakni bahwa dalam memilih alternative, informasi dan data yang dibutuhkan harus diteliti kualitasnya, diproses dan dianalisis secara benar serta disimpulkan pula secara tepat pula.
5.    Filsafat Politik, yakni bahwa dalam memilih alternative harus pula dipertimbangkan nilai moral yang berlaku. Apakah ada nilai moral yang diemban atau justru dilanggar.
Namun pada Negara-negara sedang berkembang ada dua Paradigma yang lebih popular dijalankan (Turner & Hulme, 1997) dibanding paradigma yang disebutkan sebelumnya. Paradigma tsb adalah :
1. Society-Centered Models, yang memiliki 3 model kebijakan yakni :
a. Social Class Analysis, yakni bahwa kebijakan dipandang sebagai suatu bentuk perwujudan dari usaha kelas yang dominan (elit/borjuis) untuk mempertahanan dan melindungi kepentingannya dari kelas-kelas bawah. Untuk itu harus dicari suatu bentuk kebijakan yang membela kepentingan kaum lemah dan melindungi mereka dari tekanan kelas yang dominan.
b. Model Pluralism, yakni bahwa kebijakan lebih dipandang sebagai hasil kompromi, negoisasi, koalisi dari berbagai kelompok kepentingan (bisnis, asosiasi profesi, serikat pekerja, konsumen, dll) yang diorganisir untuk melindungi kepentingan anggotanya. Oleh karenanya fungsi Negara adalah bertindak sebagai “arbiter” atau wasit bagi berbagai kepentingan tersebut.
c. Model Public Choice, yakni bahwa kebijakan lebih dipandang sebagai bentuk pemenuhan kepentingan tuntutan konsumen akan layanan public yang lebih efisien serta untuk memanfaatkan peluang pasar yang ada. Yang dipandang sebagai tuntutan konsumen tersebut adalah kepentingan-kepentingan disuarakan oleh berbagai kelompok tersebut di atas.
2. State-Centered Models
1.    Rational Actor Model, yakni yang berasumsi bahwa para pembuat kebijakan adalah pejabat yang (yang sudah seharusnya) rasional dalam memilih alternative-alternatif kebijakan yang ada, padahal asumsi ini sulit dipenuhi mengingat di Negara-negara berkembang justru sumberdaya dan data yang tersedia seringkali tidak memuaskan.
2.    Bureaucratic Model, Yakni memandang bahwa kebijakan merupakan hasil dari kegiatan politik dari para petinggi Negara dengan melakukan koalisi, negoisasi, kompromi, bargaining, bahkan kooptasi untuk memenangkan kepentingan pribadi atau lembaganya melalui kebijakan.
3.    State Interest Model, yakni memandang kebijakan sebagai hasil dari rumusan kepentingan Negara untuk menjaga keutuhan Negara melalui pertahanan dan perlindungan terhadap warganya. Bahwa Negara memiliki otonomi untuk menentukan hakekat permasalahan public dan mengembangkan solusinya.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar