KEBIJAKAN
DAN MANAJEMEN SEKTOR PUBLIK
KEBIJAKAN :
Chandler & Plano : “kebijakan Publik adalah pemanfaatan
sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah public dan
pemerintahan”. Adapun tujuannya adalah sebagai “suatu bentuk intervensi yang
kontinum oleh pemerintah demi kepentingan orang_orang yang tidak berdaya dalam
masyarakat agar mereka dapat hidup dan berpartisipasi dalam pemerintahan”
(dalam Keban, 2008, h 60).
Peterson :”Kebijakan public secara umum dapat dilihat sebagai
tindakan pemerintah dalam menghadapi masalah dengan mengarahkan perhatian
terhadap “siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana” (Public Policy, 2003, 1030)
SEKTOR
PUBLIK:
Sektor public
adalah suatu wilayah urusan yang dipandang menjadi dan mewakili kepentingan
publik banyak sehingga harus diwakilkan pada pengelolaan oleh negara. Namun
Konsep ini bahkan lebih rancu karena apa yang disebut sebagai sector public
berbeda antara suatu Negara dengan Negara lain (country specifiec), bahkan bisa
berbeda antara suatu daerah dengan daerah yang lain. Hal ini disebabkan karena batasan
antara apa yang dianggap sebagai “urusan public” dan “urusan privat” bisa
berbeda antara suatu masyarakat dengan masyarakat lain, bahkan bisa berbeda
dari suatu masa ke masa yang lain (time specifiec). Negara dapat mengurus
sangat banyak sector public (authoritarian) atau sangat terbatas (lazier faire)
karena banyak diserahkan pada mekanisme pasar (sector privat). Di Indonesia,
pada bidang ekonomi setidaknya terwakilkan dalam UUD 1945 pasal 33 yang menyatakan
bahwa “yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh Negara”, pada bidang sosial “fakir miskin, orang
terlantar dipelihara oleh Negara”, dll.
KEPENTINGAN
PUBLIK
Klasik : Kepentingan public adalah kepentingan sebagaimana
yang dirumuskan oleh para pembuat kebijakan yang terpilih (elected policy makers). Dalam konsep ini berarti kepentingan public
tidak harus berasal dari masyarakat langsung, tetapi yang dapat dirumuskan oleh
wakil-wakilnya atau pejabat public lain yang ditunjuk untuk memutuskannya.
Akibatnya seringkali apa yang diputuskan mengecewakan masyarakat karena tidak
sesuai dengan aspirasi mereka.
New Public Management (NPM): menyatakan bahwa dengan
diterimanya prinsip kompetisi, kewirausahaan serta gaya bisnis swasta ke dalam
tata pemerintahan, maka konsep tentang kepentingan public menjadi tidak relevan
lagi. Hal ini karena telah digantikan dengan koalisi dari
kepentingan-kepentingan khusus yang menang.
The New Public Service (NPS): Kepentingan
public adalah nilai-nilai yang disepakati bersama, yang menggambarkan apa yang
dianggap bernilai oleh masyarakat atau komunitas dan dinyatakan langsung oleh
masyarakat itu sendiri. Dari pendapat terakhir ini, maka apa yang disebut
sebagai kepentingan public adalah apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh
masyarakat.
Sayangnya
untuk mengoperasionalkan konsep tersebut di atas tidak lah mudah, karena
kepentingan tersebut dirumuskan melalui proses “representasi’ public. Akibatnya
seringkali suatu keputusan atau kebijakan yang mengatasnamakan kepentingan
public, justru lebih mencerminkan kepentingan partai/golongan/kelompok/jabatan,
bahkan individu yang mengambil keputusan daripada mencerminkan
kepentingan/kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Untuk
mengontrol kecenderungan negative tersebut maka diperlukan doktrin “good
governance, dimana pembuatan keputudan dibuat secara lebih demokratis dengan
membuka akses lebih luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi dan
mempertanyakan suatu keputusan eksekutif atau legislative.
PERBEDAAN
ADMINISTRASI PUBLIK DENGAN ADMINISTRASI PRIVAT
Sekalipun
dalam prakteknya sangat banyak prinsip-prinsip pengelolaannya yang sama : yakni
mencapai tujuan secara efektif dan efisien, namun antara administrasi sector
public dengan administrasi swasta dapat tetap dapat dibedakan, baik dari cara
pencapaian tujuannya, orientasinya maupun dari pihak yang dilayaninya.
Untuk
mencapai tujuannya, administrasi public lebih menekankan pada prinsip rasionalitas
terbatas (Herbert Simon), berdasarkan administrative
man model, sedang administrasi privat menekankan pencapaian tujuan berdasar
pertimbangan rasionalitas optimum yang menjadi ciri economic man model. Hal ini disebabkan karena administrasi public
harus mempertimbangkan nilai-nilai lain seperti keadilan, tanggung-jawab moral,
keberpihakan pada yang kurang beruntung dan lemah.
Orientasi
administrasi public adalah non profit, sedang orientasi administrasi swasta
adalah profit. Administrasi Publik melayani kepentingan public, sedang
administrasi Privat melayani kepentingan swasta/pribadi.
Selain
perbedaan orientasi dan kelompok yang dilayani, perbedaan lainnya adalah
ciri-ciri yang melekat pada administrasi public sebagai berikut:
1. Kurang mendapat sentuhan pasar/tidak
bergantung pada pasar.
2. Kurang otonom karena bergantung pada pengaruh
formal
3. Mendapat pengaruh politik sangat kuat,
bergantung pada dukungan dari luar.
4. Layanannya cenderung bersifat monolistis.
5. Keputusannya memberi dampak yang sangat luas.
6. Kegiatannya mendapat penilaian dari public.
7. Mendapat harapan dari public untuk bertindak
adil, responsive, jujur dan bertanggung-jawab.
8. Memiliki tujuan dan criteria yang kompleks,
kurang jelas, dan tidak mudah diukur.
9. Mendapat otoritas yang terbatas, lemah, dan
para pejabatnya seringkali memiliki keengganan untuk mendelegasikan wewenang,
serta terlalu ditekan secara politis oleh atasan.
10. Bersifat hati-hati sehingga kaku dalam
bertindak.
11. Sulit menentukan insentif berdasarkan
performance/kinerja yang ada.
12. Memiliki orang-orang yang berkarakteristik
sangat bervariatif.
13. Memiliki orang-orang dengan tingkat kepuasan
kerja dan komitmen yang rendah terhadap organisasinya.
BENTURAN NILAI DALAM ADMINISTRASI PUBLIK
Dalam setiap kegiatan administrasi public nyaris
selalu terjadi benturan nilai yang membuat pelaksana harus memilih nilai-nilai
manakah yang harus diutamakan, dan seringkali karena pilihannya tersebut
pejabat public menjadi kurang dipercayai dan kurang dihargai oleh public. Perbenturan
nilai tersebut misalnya tampak pada nilai efisiensi vs. nilai responsivitas,
antara efisiensi dengan keadilan, antara netralitas dengan toleransi, antara
netralitas dengan keberpihakan, antara derajad intervensi dengan kebebasan dan
responsivitas, antara rasionalitas dengan kepuasan, dll.
Misalkan pada suatu situasi anggaran ketat yang
mengharuskan peningkatan efisiensi pada kegiatan pemerintah namun di sisi lain
menghadapi situasi yang juga mengharuskan adanya peningkatan kegiatan untuk
menjawab kebutuhan/permasalahan public, atau untuk meningkatkan efisiensi maka
pemerintah harus mengurangi subsidi BBM yang mengakibatkan dikorbankannya nilai
keadilan karena masyarakat yang lemah daya belinya akan semakin terpuruk.
Misalnya lagi antara nilai netralitas dan keadilan yang harus dijunjung dengan
keharusan berpihak pada golongan yang lemah dan minoritas (fakir miskin, cacat,
suku terasing, dlsb). Contoh lain lagi yang berkaitan dengan derajad intervensi
pemerintah dalam kehidupan public, Jika mengatur terlalu banyak akan dianggap mengganggu
hak-hak kebebasan dalam masyarakat, jika terlalu sedikit dianggap tidak
responsive terhadap persoalan masyarakat.
TRANSFORMASI DARI PUBLIK ADMINISTRASI KE PUBLIK MANAJEMEN
1. Bahwa
organisasi pemerintah harus disusun berdasarkan hirarki birokrasi
2. Bahwa
tatakerja dan prosedur yang dijalankan dalam proses Administrasi public
merupakan satu-satunya cara terbaik berdasarkan prinsip manajemen ilmiah.
3. Bahwa
layanan public sebagaimana yang diputuskan oleh pemerintah, harus dideliverykan
oleh birokrasi
4.
ISU-ISU PENTING DALAM
KEBIJAKAN PUBLIK
I.1. 2.
SIKLUS/PROSES KEBIJAKAN PUBLIK
Secara
normative proses kebijakan memang digambarkan sebagai sebuah siklus yang
bermula dari agenda setting (atau bahkan dari identifikasi masalah – masalah
publik): pemilihan alternatif kebijakan: formulasi kebijakan: implementasi
kebijakan (termasuk monitoring): lalu evaluasi kebijakan yang kemudian memberi
feedback pada proses awal atau pada tahap lainnya. Gambaran secara normative
ini sesungguhnya ditujukan untuk mempermudah kita dalam memahami proses
kebijakan publik. Dari proses tersebut kita bisa mempelajari tentang peran dan
interaksi antara konstitusi, legislative, kelompok kepentingan dan administrasi
publik dalam proses kebijakan publik.
Secara
umum tahapan – tahapan dalam pembuatan kebijakan digambarkan sebagai suatu
siklus yang mengandung formulasi dari 1). disadarinya masalah yang memerlukan
intervensi kebijakan; lalu bagaimana 2). mendefinisikan permasalahan
sebenarnya, yakni mencari penyebab atau akar permasalahan, bukan akibat yang
timbul dari masalah tersebut; selanjutnya
3) mengidentifikasikan solusi-solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dari berbagai solusi
yang ada,
kemudian 4) dievaluasi opsi-opsi yang paling memungkinkan untuk dilakukan dengan mempertimbangkan dampaknya. Dari hasil
evaluasi tersebut, maka dipilihkan opsi yang terbaik dalam bentuk sebuah
kebijakan. Kebijakan tersebut itulah yang nantinya akan diimplementasikan dalam
bentuk program-program sebagai bentuk intervensi nyata pemerintah terhadap
permasalahan public. Hasil implementasi akan dievaluasi apakah benar program-program
yang telah dilaksanakan tersebut dapat mengatasi permasalahan sebagaimana yang
dimaksud atau tidak, dst. lebih jelasnya siklustersebut dapat dilihat pada
gambar berikut ini (Sumber: Wayne
Parsons, Public Policy: h. 80)
Gambar I.1 : Siklus Kebijakan
PROBLEM
EVALUASI DEFINISI PROBLEM
RESPON/
ALTERNATIF IDENTIFIKASI SOLUSI
IMPLEMENTASI EVALUASI
OPSI
SELEKSI OPSI KEBIJAKAN
`Robert S. Mayer dan Ernest Greenwood (1984 : 12)
mengatakan bahwa dalam gambaran yang lebih komprehensif, maka langkah – langkah
dalam proses penyusunan kebijakan adalah :
1.
Menentukan
tujuan
2.
Penilaian
kebutuhan
3.
Spesifikasi
sasaran – sasaran
4.
Perencanaan
perangkat tindakan alternatif
5.
Perkiraan
konsekuensi tindakan – tindakan alternatif
6.
Pemilihan
satu (atau lebih) perangkat tindakan
7.
Implementasi
tindakan
8.
Evaluasi
hasil
9.
Modifikasi
sasaran, tujuan, dan perangkat – perangkat tindakan berdasarkan umpan balik
Dari
skema tersebut tampak bahwa langkah – langkah penyusunan kebijakan adalah
langkah – langkah yang penuh pertimbangan dan bersifat sangat rasional sampai
ke tingkat pemilihan perangkat – perangkat tindakan, sehingga peran para
pelaksana tinggal menjalankan perangkat tindakan yang telah dipilih tersebut.
Teknik-teknik dan prinsip-prinsip pembuatan keputusan rasional juga telah
banyak dikembangkan untuk mempermudah pejabat public memperoleh alternative
terbaik dalam pembuatan kebijakan guna memperoleh solusi terbaik bagi masalah
public. Teknik-teknik tersebut misalnya Prinsip Pareto’s Optimality atau Doctrine
or Maximum Satisfaction (bahwa
kebijakan dapat diterima jika minimal menguntungkan satu orang dan tidak
merugikan seorangpun); Penggunaan analisis sistematik atau rational comprehensive untuk menghindari perilaku tidak rasional
dalam pembuatan keputusan (Daniel Lerner & Harold D. Laswell, 1951); dll.
Kendati
Mayer & Green Wood juga menegaskan bahwa dalam tahap implementasi mungkin
akan memerlukan proses perencanaan sendiri, namun perencanaan yang berkaitan
dengan implementasi tak lebih sebagai program atau perencaan administratif (hal 17 – 18).
Tentu saja gambaran demikian
berperspektif sangat top-down, seolah seluruh factor penentu keberhasilan
kebijakan mencapai tujuannya dapat diperhitungkan sebelumnya dan mereduksi
peran implementor menjadi sekedar pelaksanaan tugas yang bersifat admnisitratif
belaka.
Dalam paparan yang lebih rinci, Randall P. Ripley (Policy
Analysis in Political Science, 1985: bab 1) memberikan gambaran yang sedikit
berbeda (lihat gambar 1.3). Ripley tidak menafikan adanya penafsiran oleh
implementors atas kebijakan yang telah ditetapkan. Ruang penafsiran ini bisa
bernuansa politis, bisa juga karena situasi dan kondisi yang mengharuskan
adanya penafsiran yang berbeda saat kebijakan harus dilaksanakan.
Gambar
I.3 : POLICY PROCESS, ACTIVITIES AND PRODUCTS
AGENDA
SETTING:
- PERCEPTION OF PROBLEMS
- DEFINITION OF PROBLEMS
- MOBILIZATION OF SUPPORTS
|
PROGRAM IMPLEMENTATION
- RESOURCES
- INTERPRETATION
- PLANNING
- ORGANIZING
- PROVIDING BENEFITS, SERVICES, COERCION
|
EVALUATION OF PERFORMANCE AND IMPACTS
|
DECISISONS
ABOUT THE FUTURE OF POLICIES/ PROGRAMS
|
POLICY & PROGRAM PERFORMANCE
|
POLICY
ACTION
|
FORMULATION AND LEGITIMATION GOALS AND PROJECTS
- INFORMATION COLLECTION, ANALYSIS DISSEMINATION
- ALTERNATIVE DEVELOPMENT
- ADVOCACY AND COALITION
- COMPROMIZE, NEGOITATION
|
POLICY STATEMENT :
-
GOALS AND DESIGN PROGRAMS
-
STATUTE
|
AGENDA OF GOVERNMENT
|
PRODUCES
|
NECESSISTATES
|
PRODUCES
|
LEADS
TO
|
STIMULATES
|
LEADS TO
|
PRODUCES
|
LEADS TO
|
Dari 3 gambaran yang dipaparkan tampak seolah selalu ada langkah – langkah
pasti dalam penyusunan kebijakan, yang dimulai dari:
1.
Identifikasi
adanya masalah atau kebutuhan (publik) yang memerlukan penanganan/ intervensi
pemerintah.
- Penilaian atas masalah/ tujuan
tersebut apakah akan masuk menjadi agenda pemerintah atau tidak. Penilaian
atas apa yang akan menjadi agenda pemerintah atau, tidak bisa bersifat
sangat politis dan juga bisa diwarnai pertarungan memperebutkan pengaruh
politik.
3. Penetapan agenda pemerintah untuk
menjadi prioritas utama pembangunan
4. Proses formulasi kebijakan yang
berlangsung di tingkat eksekutif dan legislative. Proses ini (seharusnya)
berlangsung sangat rasional dalam pemilihan alternatif – alternatif tindakan
(Mayer dan Greenwood), atau Rasional terbatas (Herbert A. Simon) karena juga
sarat aktifitas politik berupa advokasi, koalisi, negosiasi, ataupun kompromi
(Ripley).
5.
Legimitasi kebijakan di tingkat legislative, yang di dalamnya terkandung
dasar hukum, sasaran – sasaran yang ingin dicapai, sekaligus program – program/
perangkat – perangkat tindakan yang harus dilaksanakan.
6. Implementasi (program) kebijakan
7. Evaluasi atas hasil implementasi
8. Umpan balik
Ide
tentang tahapan dalam proses kebijakan publik tersebut merupakan kontribusi
pemikiran dari Harold Laswell, Herbert Simon, dan David Easton tentang
pembuatan keputusan yang rasional. Teknik-teknik dan prinsip-prinsip pembuatan
keputusan rasional memang telah banyak dikembangkan untuk mempermudah pejabat
public memperoleh alternative terbaik dalam pembuatan kebijakan guna memperoleh
solusi terbaik bagi masalah public.
Pada kenyataannya bahkan langkah –
langkah terinci yang sangat rasional yang telah dipilihkan oleh pembuat
kebijakan, tidaklah menjamin implementasi akan berjalan sesuai dengan harapan
dan kehendak pembuatnya, karena nuansa politik tidak hanya berhenti saat
kebijakan sudah diputuskan, tapi juga berlanjut saat kebijakan dilaksanakan.
Charles Lindblom adalah yang menentang ide tahapan rasional dalam siklus
kebijakan publik, katanya: “ Langkah – langkah yang tercatat dan penuh
pertimbangan bukanlah gambaran yang akurat tentang bagaimana proses kebijakan
bekerja, karena proses kebijakan merupakan proses yang interaktif dan kompleks,
tanpa awal dan tanpa akhir” (dalam Wayne Parsons: 24). Oleh karenanya Lindblom
dalam The Science of Muddling Through,
menyarankan agar kebijakan sebaiknya dilakukan secara incremental, bukan
rasional komprehensif karena permasalahan di lapangan tidak seluruhnya dapat
dihitung dan dirasionalkan.
Ide tahapan
rasional dalam pembuatan kebijakan juga dikritik dan disebut sebagai paradigma
textbook dianggap memiliki kelemahan utama, antara lain seperti yang
disimpulkan dari pernyataan Sabatier yakni :
1.
Tidak
memberikan penjelasan kausal bagaimana kebijakan bergerak dari satu tahapan ke
tahapan berikutnya.
- Tidak bersifat empiris
- Kebijakan publik dianggap
sebagai kebijakan “top-down” dan gagal menjelaskan peran aktor street level
dan aktor lainnya
- Mereduksi dunia nyata dalam
pembuatan kebijakan yang melibatkan berbagai level pemerintahan dan siklus
yang saling berinteraksi.
Kendati
memiliki kelemahan, pendekatan tahapan rasional dalam proses pembuatan
kebijakan ini sangat membantu kita memahami proses kebijakan karena mereduksi
kompleksitasnya dan menjadikannya lebih mudah dipahami.
PERGESERAN
PARADIGMA
Sekalipun
semua prinsip tersebut memberi sumbangan terhadap kualitas dalam pembuatan
kebijakan publik, tetapi pada kenyataannnya kebijakan seringkali tetap dirasa tidak
memuaskan masyarakat. Theodore Lowi (1969) menyatakan bahwa yang tidak beres
dalam pembuatan kebijakan bukanlah teknik yang digunakan, tetapi justru
kecenderungan para kelompok kepentingan tertentu yang mendominasi pembuatan
keputusan, untuk memenuhi kepentingan mereka dengan mengorbankan kepentingan
public.
Untuk mengatasi kecenderungan tersebut di atas, maka setidaknya
ada tiga hal yang sangat perlu diperhatikan pada tahapan tersebut agar setidaknya
kebijakan tersebut bernilai dan berpihak pada kepentingan public. Tahap
tersebut adalah :
1. Identifikasi Masalah.
Indikator
adanya masalah public yang harus diintervensi melalui kebijakan dapat diperoleh
melalui berbagai sumber baik tertulis maupun aksi. Sumber tertulis misalnya
data indicator sosial, data sensus, data survey nasional, isu yang diangkat
oleh media massa, dlsb. Pada tahap ini agar kebijakan tidak menjadi solving the wrong problem, maka beberapa
pertanyaan penting perlu diajukan misalnya:
·
Apakah isu tersebut benar-benar merupakan masalah? Apa
alasannnya, Apa buktinya, Siapa sasarannya, Apakah masalah ini sudah mendesak?
Apakah dampak negatifnya jika tidak segera diintervensi?
·
Jika masalah tersebut perlu segera diintervensi,
bagaimana cara mengangkat permasalahan tersebut secara persuasive agar
memperoleh perhatian lebih luas dan menjadi agenda kebijakan.
2. Pengembangan Alternatif
Pada
proses ini pertanyaan yang harus dijawab adalah teori-teori atau model-model
apakah yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyebab permasalahan
tersebut; jika factor-faktor penyebab telah diidentifikasikan, pertanyaan
selanjutnya adalah seberapa logis hubungan antara sebab (alternatives) dan
akibat (permasalahan); alternative manakah yang berhubungan langsung atau
paling dominan terhadap terhadap pemecahan masalah. Beragam teknik yang telah
dikembangkan untuk mengembangkan alternative pemecahan masalah ini, diantaranya
adalah metode brain storming, riset
analisis,survey, analogi, pembuatan
model, dlsb.
3. Pemilihan
dan Penentuan Alternatif
Program-program
adalah setiap aktifitas/kegiatan pemerintahan yang dirancang untuk mewujudkan
kesejahteraan publik melalui pengelolaan barang dan layanan publik yang memenuhi hak-hak dasar
manusia. Untuk itu penyusunan isi
program/kebijakan harus memenuhi indikator pertimbangan etika yakni : Manfaat;
Pemenuhan Hak; Keadilan dan Pemeliharaan/Keberlanjutan (Griffin & Ebert
dalam James AF Stoner dkk :1999) dan indikator pelayanan publik1). Efektifitas
program; 2). Produktifitas keluaran yang
dibutuhkan masyarakat; Efisiensi; dan Kepuasan (Ratminto & Atik : 2005).
Dan dari segi operasionalnya mampu memenuhi
kriteria kelayakan ekonomi, teknis dan administrasi (INTERPLAN :1969).
Selain
itu pada perkembangan selanjutnya dikenal juga 5 paradigma dalam pembuatan
kebijakan public (Bobrow & Dryzek,
1987), yang dapat menjadi rambu-rambu dalam penyusunan kebijakan public, yakni:
1. Welfare economic, yakni bahwa
setiap alternative keputusan untuk kebijakan publik hendaknya diperhitungkan
untung ruginya dari segi ekonomi (prinsip rasional komprehensif) dan
kemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat.
2. Public Choice, yakni dalam
memilih alternative kebijakan, harus mengutamakan keputusan yang dibuat oleh
lembaga yang mengatasnamakan atau mewakili kepentingan public.
3. Social Structure, bahwa dalam memilih alternative kebijakan
harus memperhitungkan kepentingan dari berbagai lapisan masyarakat yang ada,
termasuk manfaat yang dapat mereka nikmati dan dampak yang mungkin mereka
hadapi.
4. Information Processing, yakni bahwa
dalam memilih alternative, informasi dan data yang dibutuhkan harus diteliti
kualitasnya, diproses dan dianalisis secara benar serta disimpulkan pula secara
tepat pula.
5. Filsafat
Politik, yakni bahwa dalam memilih alternative harus pula dipertimbangkan nilai
moral yang berlaku. Apakah ada nilai moral yang diemban atau justru dilanggar.
Namun pada
Negara-negara sedang berkembang ada dua Paradigma yang lebih popular dijalankan
(Turner & Hulme, 1997) dibanding
paradigma yang disebutkan sebelumnya. Paradigma tsb adalah :
1.
Society-Centered Models,
yang memiliki 3 model kebijakan yakni :
a.
Social Class Analysis, yakni bahwa kebijakan dipandang sebagai suatu bentuk
perwujudan dari usaha kelas yang dominan (elit/borjuis) untuk mempertahanan dan
melindungi kepentingannya dari kelas-kelas bawah. Untuk itu harus dicari suatu
bentuk kebijakan yang membela kepentingan kaum lemah dan melindungi mereka dari
tekanan kelas yang dominan.
b.
Model Pluralism, yakni bahwa kebijakan lebih dipandang sebagai hasil
kompromi, negoisasi, koalisi dari berbagai kelompok kepentingan (bisnis,
asosiasi profesi, serikat pekerja, konsumen, dll) yang diorganisir untuk
melindungi kepentingan anggotanya. Oleh karenanya fungsi Negara adalah
bertindak sebagai “arbiter” atau wasit bagi berbagai kepentingan tersebut.
c.
Model Public Choice, yakni bahwa kebijakan lebih dipandang sebagai bentuk
pemenuhan kepentingan tuntutan konsumen akan layanan public yang lebih efisien
serta untuk memanfaatkan peluang pasar yang ada. Yang dipandang sebagai
tuntutan konsumen tersebut adalah kepentingan-kepentingan disuarakan oleh
berbagai kelompok tersebut di atas.
2. State-Centered Models
1. Rational Actor Model, yakni yang
berasumsi bahwa para pembuat kebijakan adalah pejabat yang (yang sudah
seharusnya) rasional dalam memilih alternative-alternatif kebijakan yang ada,
padahal asumsi ini sulit dipenuhi mengingat di Negara-negara berkembang justru
sumberdaya dan data yang tersedia seringkali tidak memuaskan.
2. Bureaucratic Model, Yakni
memandang bahwa kebijakan merupakan hasil dari kegiatan politik dari para
petinggi Negara dengan melakukan koalisi, negoisasi, kompromi, bargaining,
bahkan kooptasi untuk memenangkan kepentingan pribadi atau lembaganya melalui
kebijakan.
3. State Interest Model, yakni memandang
kebijakan sebagai hasil dari rumusan kepentingan Negara untuk menjaga keutuhan
Negara melalui pertahanan dan perlindungan terhadap warganya. Bahwa Negara
memiliki otonomi untuk menentukan hakekat permasalahan public dan mengembangkan
solusinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar