I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia, sebagai salah satu negara yang telah merasakan dampak dari
tindakan korupsi, terus berupaya secara konkrit, dimulai dari pembenahan aspek
hukum, yang sampai saat ini telah memiliki banyak sekali rambu-rambu berupa
peraturan - peraturan, antara lain Tap MPR XI tahun 1980, kemudian tidak kurang
dari 10 UU anti korupsi, diantaranya UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU
No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kemudian yang paling
monumental dan strategis, Indonesia memiliki UU No. 30 Tahun 2002, yang menjadi
dasar hukum pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ditambah lagi dengan
dua Perpu, lima Inpres dan tiga Kepres. Di kalangan masyarakat telah berdiri
berbagai LSM anti korupsi seperti ICW, Masyarakat Profesional Madani (MPM), dan
badan-badan lainnya, sebagai wujud kepedulian dan respon terhadap uapaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dengan demikian pemberantasan dan
pencegahan korupsi telah menjadi gerakan nasional. Seharusnya dengan sederet
peraturan, dan partisipasi masyarakat tersebut akan semakin menjauhkan
sikap,dan pikiran kita dari tindakan korupsi.
Masyarakat Indonesia bahkan dunia terus menyoroti upaya Indonesia dalam
mencegah dan memberantas korupsi. Masyarakat dan bangsa Indonesia harus
mengakui, bahwa hal tersebut merupakan sebuah prestasi, dan juga harus jujur
mengatakan, bahwa prestasi tersebut, tidak terlepas dari kiprah KPK sebagai
lokomotif pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia, yang didukung oleh
masyarakat dan LSM, walaupun dampaknya masih terlalu kecil, tapi tetap kita
harus berterima kasih dan bersyukur. Berbagai upaya pemberantasan korupsi
dengan IPK tersebut, pada umumnya masyarakat masih dinilai belum menggambarkan
upaya sunguh-sunguh dari pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Berbagai sorotan kritis dari publik
menjadi ukuran bahwa masih belum lancarnya laju pemberantasan korupsi di
Indonesia. Masyarakat menduga masih ada praktek tebang pilih dalam
pemberantasan korupsi di Indonesia. Sorotan masyarakat yang demikian tajam
tersebut harus difahami sebagai bentuk kepedulian dan sebagai motivator untuk
terus berjuang mengerahkan segala daya dan strategi agar maksud dan tujuan
pemberantasan korupsi dapat lebih cepat, dan selamat tercapai. Selain itu,
diperlukan dukungan yang besar dari segenap kalangan akademis untuk membangun
budaya anti korupsi sebagai komponen masyarakat berpendidikan tinggi .
Sesungguhnya korupsi dapat dipandang sebagai fenomena politik,
fenomena sosial, fenomena budaya, fenomena ekonomi, dan sebagai fenomena
pembangunan. Karena itu pula upaya penanganan korupsi harus dilakukan secara
komprehensif melalui startegi atau pendekatan negara atau politik, pendekatan
pembangunan, ekonomi, sosial dan budaya. Selama ini yang telah dan sedang
dilakukan masih terkesan parsial, dimana korupsi masih dipandang sebagai
fenomena negara atau fenomena politik. Upaya pencegahan korupsi di Indonesia
juga harus dilakukan melalui upaya perbaikan totalitas system ketatanegaraan
dan penanaman nilai-nilai anti korupsi atau nilai sosial anti korupsi atau Budaya
Anti Korupsi (BAK), baik di pemerintahan tingkat pusat mauapun di tingkat
daerah.
Korupsi sebagai fenomena negara, selama ini difahami sebagai fenomena penyalahgunaan kekuasaan oleh yang berkuasa.
Korupsi sebagai fenomena negara, selama ini difahami sebagai fenomena penyalahgunaan kekuasaan oleh yang berkuasa.
Berdasarkan pengertian tersebut, korupsi di Indonesia difahami sebagai
perilaku pejabat dan atau organisasi (negara) yang melakukan pelanggaran, dan
penyimpangan terhadap norma-norma atau peraturan-peraturan yang ada. Korupsi
difahami sebagai kejahatan negara (state corruption). Korupsi
terjadi karena monopoli kekuasaan, ditambah kewenangan bertindak, ditambah
adanya kesempatan, dikurangi pertangungjawaban. Jika demikian, menjadi wajar
bila korupsi sangat sulit untuk diberantas apalagi dicegah, karena korupsi
merupakan salah satu karakter atau sifat negara, sehingga negara = Kekuasaan =
Korupsi.
Sebagai fenomena pembangunan, korupsi terjadi dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh negara atau pemerintah.
Sebagai fenomena pembangunan, korupsi terjadi dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh negara atau pemerintah.
Pembangunan seharusnya merupakan jawaban terhadap permasalahan yang
dihadapi negara, terutama negara yang termasuk dalam kelompok negara
berkembang, termasuk Indonesia. Di negara berkembang yang melakukan pembangunan
adalah pemerintah. Pemerintah seharusnya mengarahkan pembangunan menjadi
pemberdayaan masyarakat, sehingga suatu saat masyarakat memiliki kemauan dan
kemampuan memenuhi kebutuhan dan melindungi kepentingan sendiri.
Ketidakberdayaan masyarakat sering dijadikan alasan untuk membantu, bentuk dan
jenis bantuan dijadikan proyek, disini pula menjadi sumber korupsi.
Korupsi sebagai fenomena sosial, dalam hal ini korupsi terjadi dalam
hubungan interaksi atau transaksi antara pemerintah dengan masyarakat, antara
pemerintah dengan pemerintah, antara masyarakat dengan masyarakat. Sebagai
fenomena sosial budaya, korupsi dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok :
pertama kesepakan gelap (kolusi), kedua upaya menembus kemacetan atau hambatan
yang disebabkan peraturan atau oknum, dan ketiga menhgindari tanggung jawab dan
berupaya agar lepas dari jeratan hukum, misalnya sogok, hadiah, uang pelican,
mensponsori suatu kegiatan tertentu dengan maksud mendapatkan yang bernilai
lebih, atau sering dikenal dengan "ada udang dibalik batu",
dll.
Korupsi sebagai fenomena budaya, dapat difahami bahwa korupsi terjadi
karena sudah menjadi kebiasaan/perilaku yang dibangun berdasarkan nilai-nilai
yang diketahui, difahami dan diyakini seseorang atau sekelompok orang.
Nilai-nilai tersebut dibangun melalui proses sosialisasi daninternalisasi yang
sistematis. Proses tersebut terjadi dalam lingkup pendidikan. Oleh karena itu,
kami memahami bahwa suatu kebiasaan harus dimulai dari merubah mindset atau
pola pikir, atau paradigma, kemudian membentuk perilaku berulang yang coba-coba
dan akhirnya menjadi kebiasaan. Sosialisasi dan internalisasi nilai anti
korupsi tersebut dilakukan kepada seluruh komponen masyarakat dan aparatur
pemerintah di pusat dan daerah, lembaga tinggi Negara, BUMN, BUMD, sehingga
nilai sosial anti korupsi/Budaya Anti Korupsi (BAK) menjadi gerakan nasional
dan menjadi kebiasaan hidup seluruh komponen bangsa Indonesia, menuju kehidupan
yang adil makmur dan sejahtera.
B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan malakah ini adalah untuk mensosialisasikan apa itu
korupsi, dan bagaimana korupsi itu terjadi di Indonesia, serta bagaimana upaya
dalam pemberantasan masalah terbesar Negara ini . diharapkan dari pembuatan
makalah ini kita lebih mengerti bagaimana upaya pemerintah dalam memerangi
korupsi di negri ini . kita pun dapat sedikit berpartisipasi memberantasi
korupsi setelah kita mengerti dengan jelas korupsi di Indonesia .
C. Rumusan Masalah
· Asal Kata dan
Pengertian Korupsi
· Faktor
Pedorong Terjadinya Korupsi di Indonesia
· Dampak Negatif
korupsi
· Contoh Kasus Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia
· Lembaga
Pemberantasan Korupsi
· Peraturan
Perundang-Undangan Tentang Tindak Pidana Korupsi
· Upaya Pemerintah
dalam Memberantas Korupsi di Indonesia
II. PEMBAHASAN
A. Asal Kata dan Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin : corruptio dari kata kerja corrumpere yang
bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik,
menyogok . Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik,
baik politikus politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau
memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik
yang dipercayakan kepada mereka.
Meskipun kata corruption itu luas sekali artinya,namun sering corruptio
dipersamakan artinya dengan penyuapan seperti disebut dalam ensiklopedia Grote
Winkler Prins (1977) PP Pengganti UU Nomor 24 Tahun 1960, mengartikan korupsi
sebagai "tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu
kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau
perekonomian negara dan daerah atau merugikan keuangan suatu badan hukum lain
yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain
yang memergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari Negara atau
masyarakat", dst.
Kemudian Robert Klitgaard dalam bukunya Controlling Corruption (1998),
mendefinisikan korupsi sebagai "tingkah laku yang menyimpang dari
tugas-tugas resmi sebuah jabatan Negara karena keuntungan status atau uang yang
menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau untuk
melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi".
Kemudian secara singkat Komberly Ann Elliott dalam Corruption and The
GlobalEconomy menyajikan definisi korupsi, yaitu "menyalahgunakan jabatan
pemerintahan untuk keuntungan pribadi".
Menurut pasal 25 (penghabisan) perpu nomor 24 tahun 1960 ini disebut
peraturan pemberantasan korupsi diatas saya namakan undang undang
anti-korupsi pasal , menentukan bahwa tindak pidana korupsi adalah :
a) Tindaakan seseorang yang dengan atau
karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri,
orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan atau perekonomian nergara atau daerah atau merugikan suatu badan yang
menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah atau badan hukum lain yang
mempergunakan modal atau kelonggaran kelonggaran dari Negara atau masyarakat
b) Perbuatan seseorang yang dengan atau
karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau badan dan dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau
kedudukan
c) Kejahatan-kejahatan tercantum dalam
pasal 17-21 peraturan ini dan dalam pasal 209, 210,415, 417, 418, 419, 420,
423, 425, dan 435, kitab undang undang hokum pidana.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis
besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
perbuatan melawan hukum;
penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di
antaranya:
memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
penggelapan dalam jabatan;
pemerasan dalam jabatan;
ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi
atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan
pribadi. Semua bentuk pemerintah pemerintahan rentan korupsi dalam
prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi
adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnyapemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura
bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele
atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan
kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi
itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah
ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan
kriminalitas kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah
hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai
contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun
ada juga yang tidak legal di tempat lain.
B. Faktor Pendorong Terjadinya Korupsi
di Indonesia
Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab
langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang
bukandemokratik.
Gaji yang masih rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi
yang lamban dan sebagainya.
Sikap mental para pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang haram,
tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang
dilakukan oleh pejabat pemerintah.
Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari
pendanaan politik yang normal.
Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman
lama".
Lemahnya ketertiban hukum.
Lemahnya profesi hukum.
Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
Mengenai kurangnya gaji atau pendapatan
pegawai negeri dibanding dengan kebutuhan hidup yang makin hari makin meningkat
pernah di kupas oleh B Soedarsono yang menyatakan antara lain " pada
umumnya orang menghubung-hubungkan tumbuh suburnya korupsi sebab yang paling
gampang dihubungkan adalah kurangnya gaji pejabat-pejabat....." namun B
Soedarsono juga sadar bahwa hal tersebut tidaklah mutlak karena banyaknya
faktor yang bekerja dan saling memengaruhi satu sama lain. Kurangnya gaji
bukanlah faktor yang paling menentukan, orang-orang yang berkecukupan banyak
yang melakukan korupsi. Namun demikian kurangnya gaji dan pendapatan pegawai
negeri memang faktor yang paling menonjol dalam arti merata dan meluasnya
korupsi di Indonesia, hal ini dikemukakan oleh Guy J Parker dalam tulisannya
berjudul "Indonesia 1979: The Record of three decades (Asia Survey Vol. XX
No. 2, 1980 : 123).
Begitu pula J.W Schoorl mengatakan bahwa " di Indonesia di bagian
pertama tahun 1960 situasi begitu merosot sehingga untuk sebagian besar
golongan dari pegawai, gaji sebulan hanya sekadar cukup untuk makan selama dua
minggu. Dapat dipahami bahwa dalam situasi demikian memaksa para pegawai
mencari tambahan dan banyak diantaranya mereka mendapatkan dengan meminta uang
ekstra untuk pelayanan yang diberikan". ( Sumber buku "Pemberantasan
Korupsi karya Andi Hamzah, 2007)
Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang
gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau
"sumbangan kampanye".
C. Dampak negatif korupsi
- Terhadap
demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia
politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang
baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi
di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan
perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan
menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan
ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis
kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan
sumber daya, dan pejabat diangkat ataudinaikan jabatan bukan karena prestasi.
Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai
demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
- Terhadap perekonomian
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi
kualitas pelayanan pemerintahan.
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat
distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi
meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos
manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan
perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi
mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru
muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk
membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan
inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan".
Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai
hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor
publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat
yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah
kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang
akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan
syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain.
Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan
menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
- Terhadap
kesejahteraan umum negara
Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi
warga negaranya. Korupsi politis berarti
kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya
rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat
peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan
perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis"
ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan
sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
D. Contoh kasus tindak pidana korupsi di Indonesia
· Soeharto
Kasus Soeharto Bekas presiden Soeharto diduga melakukan tindak korupsi di
tujuh yayasan (Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera
Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora) Rp 1,4 triliun. Ketika diadili di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, ia tidak hadir dengan alasan sakit. Kemudian majelis
hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengembalikan berkas tersebut ke
kejaksaan. Kejaksaan menyatakan Soeharto dapat kembali dibawa ke pengadilan
jika ia sudah sembuh?walaupun pernyataan kejaksaan ini diragukan banyak
kalangan.
· Pertamina
Dugaan korupsi dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina
dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak
pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah
kerugian negara, adalah US $ 24.8 juta. Para tersangkanya 2 Mantan Menteri
Pertambangan dan Energi Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita dan Ida Bagus
Sudjana, Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda’oe, serta Direktur PT UPG
Partono H Upoyo.
Kasus Proyek Kilang Minyak Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa
Barat dengan tersangka seorang pengusaha Erry Putra Oudang. Pembangunan kilang
minyak ini menghabiskan biaya sebesar US $ 1.4 M. Kerugian negara disebabkan proyek
ini tahun 1995-1996 sebesar 82.6 M, 1996-1997 sebesar 476 M, 1997-1998 sebesar
1.3 Triliun. Kasus kilang Balongan merupakan benchmark-nya praktek KKN di
Pertamina. Negara dirugikan hingga US$ 700 dalam kasus mark-up atau
penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang minyak bernama Exor I
tersebut.Kasus Proyek Pipaisasi Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jawa
(Pipianisasi Jawa), melibatkan Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda’oe, Bos
Bimantara Rosano Barack, dan Siti Hardiyanti Rukmana. Kerugian negara hingga
US$ 31,4 juta.
· Korupsi di BAPINDO
Tahun 1993, pembobolan yang terjadi di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo)
dilakukan oleh Eddy Tanzil yang hingga saat ini tidak ketahuan dimana rimbanya,
Negara dirugikan sebesar 1.3 Triliun.HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst
& Young Kasus HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young pada 31
Juli 2000 tentang penggunaan dana reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus korupsi
dengan kerugian negara Rp 15,025 triliun (versi Masyarakat Transparansi
Indonesia). Yang terlibat dalam kasus tersebut, antara lain, Bob Hasan, Prajogo
Pangestu, sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto. Bob Hasan
telah divonis enam tahun penjara. Bob dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi
proyek pemetaan hutan senilai Rp 2,4 triliun.
Direktur Utama PT Mapindo Pratama itu juga diharuskan membayar ganti rugi
US$ 243 juta kepada negara dan denda Rp 15 juta. Kini Bob dikerangkeng di LP
Nusakambangan, Jawa Tengah. Prajogo Pangestu diseret sebagai tersangka kasus
korupsi dana reboisasi proyek hutan tanaman industri (HTI) PT Musi Hutan
Persada, yang diduga merugikan negara Rp 331 miliar. Dalam pemeriksaan,
Prajogo, yang dikenal dekat dengan bekas presiden Soeharto, membantah keras
tuduhan korupsi. Sampai sekarang nasib kasus taipan kakap ini tak jelas
kelanjutannya.
· Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI)
Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus BLBI pertama kali
mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus
2000. Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4
triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan
adanya penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4
triliun.Bekas Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap
bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI. Sebelumnya, mantan pejabat BI lainnya
yang terlibat pengucuran BLBI?Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru
Soepraptomo?telah dijatuhi hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga
tahun penjara, yang dianggap terlalu ringan oleh para pengamat. Ketiganya kini
sedang naik banding.
Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat
BLBI, hanya beberapa yang telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan
Haryono (Bank Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja (Bank
Harapan Santosa), Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono (Bank Modern).
Yang jelas, hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses penyelidikan
dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan hanya enam kasus
.
· Abdullah Puteh
Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang kini non aktif ini menjadi tersangka
korupsi APBD dalam pembelian helikopter dan genset listrik, dengan dugaan
kerugian Rp 30 miliar. Kasusnya kini masih ditangani pihak kejaksaan
dengan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi.
E. Lembaga pemberantasan korupsi
· Sejarah lembaga
pemberantasan korupsi di Indonesia
Orde Lama
o Kabinet Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi.
Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya,
lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini
dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota,
yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah
semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk
isian formulir yang disediakan.Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat
yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa
dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu
tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan
kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya
menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
o Operasi Budhi
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963,
pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat
sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu
oleh Wiryono Prodjodikusumodengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan
Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni
menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama
perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap
rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti
Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi
lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang
efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil
menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini
dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti
menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan
Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu
olehSoebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada
tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini,
pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur
lambat, bahkan macet.
Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16
Agustus 1967, Soehartoterang-terangan mengkritik Orde Lama, yang
tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat
ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya
Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun,
ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan
Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang
dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr
Wilopo, dan A.
Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV
Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.Empat tokoh bersih ini
jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina,
misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite
ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat
sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib)
dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat
mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top
downdi kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin
melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan
makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.
Era Reformasi
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J.
Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut
pembentukan berbagai komisi atau badan baru, sepertiKomisi Pengawas Kekayaan
Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman.
Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2000.
Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari
anggota tim ini, melalui suatujudicial review Mahkamah Agung,
TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun
1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN
sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi
terbaru yang masih eksis.
· KPK di bawah
Taufiequrachman Ruki (2003-2007)
Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi
Kepolisian(Akpol) 1971, dilantik
menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak
memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi
lain untuk terciptanya jalannya sebuah "good and clean governance"
(pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan
Anggota DPR RI
dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik
dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.
Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai
bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga
bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang
akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya
contoh "island of integrity" (daerah contoh yang bebas
korupsi).
Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas". Taufiequrachman mengemukakan data hasil survei Transparency Internasional mengenai penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap pelayanan publik di Indonesia.
Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas". Taufiequrachman mengemukakan data hasil survei Transparency Internasional mengenai penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap pelayanan publik di Indonesia.
Hasil survei itu memberikan nilai IPK (Indeks Persepsi Korupsi) sebesar 2,2
kepada Indonesia. Nilai tersebut menempatkan Indonesia pada urutan 137 dari 159
negara tersurvei. Survei Transparency International Indonesia berkesimpulan
bahwa lembaga yang harus dibersihkan menurut responden, adalah: lembaga
peradilan (27%), perpajakan (17%), kepolisian (11%), DPRD (10%),
kementerian/departemen (9%), bea dan cukai (7%), BUMN (5%), lembaga pendidikan
(4%), perijinan (3%), dan pekerjaan umum (2%). Lebih lanjut disampaikan, survei
terbaru Transparency International yaitu "Barometer Korupsi Global",
menempatkan partai politik di Indonesia sebagai institusi terkorup
dengan nilai 4,2 (dengan rentang penilaian 1-5, 5 untuk yang terkorup).
Masih berangkat dari data tersebut, diAsia, Indonesia menduduki prestasi sebagai negara
terkorup dengan skor 9.25 (terkorup 10) di atas India (8,9), Vietnam (8,67), Filipina (8,33)
dan Thailand (7,33).
Dengan adanya data tersebut, terukur bahwa keberadaan korupsi di Indonesia telah membudaya baik secara sistemik dan endemik. Maka Taufiequrachman berasumsi bahwa kunci utama dalam pemberantasan korupsi adalah integritas yang akan mencegah manusia dari perbuatan tercela, entah itu "corruption by needs" (korupsi karena kebutuhan), "corruption by greeds" (korupsi karena keserakahan) atau "corruption by opportunities" (korupsi karena kesempatan). Taufiequrachman juga menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan integritas antikorupsi harus melalui proses yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi masyarakat dan organisasi bisnis.
Dengan adanya data tersebut, terukur bahwa keberadaan korupsi di Indonesia telah membudaya baik secara sistemik dan endemik. Maka Taufiequrachman berasumsi bahwa kunci utama dalam pemberantasan korupsi adalah integritas yang akan mencegah manusia dari perbuatan tercela, entah itu "corruption by needs" (korupsi karena kebutuhan), "corruption by greeds" (korupsi karena keserakahan) atau "corruption by opportunities" (korupsi karena kesempatan). Taufiequrachman juga menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan integritas antikorupsi harus melalui proses yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi masyarakat dan organisasi bisnis.
· Komisi Pemberantasan
Korupsi ( KPK)
Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi
di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan
memberantas korupsi diIndonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saat ini KPK dipimpin bersama oleh 4 orang
wakil ketuanya, yakni Chandra Marta
Hamzah, Bibit Samad Rianto, Mochammad
Jasin, dan Hayono Umar, setelah Perpu Plt. KPK ditolak oleh DPR. Pada
25 November, M. Busyro Muqoddas terpilih menjadi ketua KPK setelah
melalui proses pemungutan suara oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Visi
Mewujudkan Lembaga yang Mampu Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari Korupsi
Misi
Mewujudkan Lembaga yang Mampu Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari Korupsi
Misi
Pendobrak dan Pendorong Indonesia yang Bebas dari Korupsi
Menjadi Pemimpin dan Penggerak Perubahan untuk Mewujudkan Indonesia yang
Bebas dari Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi;
Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
:
Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana
korupsi;
Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi
kepada instansi yang terkait;
Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi
K P K
(Berdasar Lampiran Peraturan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
No. PER-08/XII/2008 Tanggal Desember 2008)
No. PER-08/XII/2008 Tanggal Desember 2008)
Nama-nama anggota KPK
Contoh profil anggota KPK :
Muhammad Busyro Muqoddas
Lahir di Yogyakarta, 17 Juli 1952, menamatkan pendidikan sarjana hukum di Universitas
Islam Indonesia, meraih gelar Magister Hukum dari Universitas Gadjah Mada, dan
menyelesaikan program S-3 Hukum di Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta.Berbagai jabatan di bidang hukum telah dilakoni oleh Busjro, mulai
dari Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta (1983-1986), anggota Dewan Kode Etik IKADIN
Yogyakarta (1998-2000), anggota Dewan Etik ICM Yogyakarta (2000-2005). Selain
iu, Busyro dipercaya menjadi Ketua Komisi Yudisial mulai tahun 2005 sebelum
akhirnya terpilih menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2010. Di
lingkungan akademis, Busyro memiliki pengalaman menjadi Pembantu Dekan III
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (1986-1988), dilanjutkan sebagai Pembantu
Dekan I Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia hingga 1990.
Bapak dari tiga anak ini pernah mengikuti Pelatihan Investigasi Pelanggaran
HAM Berat (2004) dan peserta pra-pelatihan internasional dalam bidang Human
Rights, Conflict Transformation and Peace Promotion in Norwegia yang
diselenggarakan oleh Dirjen Perlindungan HAM, Departemen Hukum dan HAM RI
bersama dengan Institute of Human Rights, University of Oslo Norwegia, di Bogor
(2004). Busyro yang memiliki hobi membaca buku dan olahraga, pada 2008 meraih
penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA).
Busyro terpilih menjadi Ketua KPK setelah melewati serangkaian fit and
proper test oleh Komisi III DPR RI pada 25 November 2010. Menggantikan Ketua
KPK Antasari Azhar, Busyro dilantik dan diambil sumpah oleh Presiden RI pada 20
Desember 2010.
Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait dengan KPK :
F. Peraturan Perundang-Undangan
Tentang Tindak Pidana Korupsi
Yang kini menonjol adalah tiga unsur yaitu (a) memperkaya diri, (b)
menyalahgunakan jabatan atau kedudukan (c) merugikan keuangan atau perekonomian
Negara .
Pasal 16 menentukan :
a) Barang siapa melakukan tindak pidana
korupsi yang dimaksud dalam pasal 1 sub a dan b dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya dua belas tahun dan/ atau denda setinggi tingginya satu juta
rupiah.
b) Segalaa harta bendaa yang diperoleh
dari korupsi dirampas.
c) Si terhukum dapat juga diwajibkan
membayar uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh
dari korupsi .
Pasal 17 membuat suatu tindak pidana baru yaitu : barang siapa memberi
hadiah atau janji kepada seseorang yang menerima gaji atau upah dari keuangan
Negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan
kelonggaran-kelonggaran dari Negara atau masyarakat dengan mengingat suatu
kekuasaan atau suatu wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau
yang oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau
kedudukan itu dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
dan/atau denda setinggi-tinggiya satu juta rupiah .
Demikianlah ditetapkan dalam pasal 5 ayat 3 ditagaskan oleh pasal 7 bahwa :
perkara dalam perkara korupsi ini jaksa berhak membuka, memeriksa, dan menyita
surat-surat dan kiriman kiriman yang melalui jawatan pos, telegram, dan
telepon, yang dapat disangka mempunyai hubungan dengan perkara pidana korupsi
yang sedang disidik atau dituntut . Dalam study ini pendekatan yang dipakai
ialah pendekatan normatif . norma-norma yang ada dalam masyarakat bukan
merupakan norma hukum saja, tetapi juga meliputi norma agama, kebiasaan, dan
kesusilaan sehingga pendekatan normatif ini pun terlampau luas ruang lingkupnya
. kadang-kadang norma norma yang lain itu berjalan seiring dengan norma hukum .
tetapi sering pula tidak sejalan . pendekatan ini disebut pendekatan
normatif . pendekatan normatif dalam arti sempit, yaitu pendekatan yang
ditujukan kepada norma hukum yang masih mempunyai beberapa jalur .
a) Jalur Hukum Perdata
Kemungkinan gugatan perdata terhadap para koruptor berupa ganti kerugian
kepada Negara sesuai pasal 1365 BW terutama terhadap koruptor yang telah
meninggal dunia . hal ini telah diatur dalam pasal 32,33, dan 34
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang merupakan perbaikan pengaturan dalam UU
PTPK 1971 .Andaikata pun tidak diatur dalam UU PTPK 1999 tetap saja Negara
(antara lain melalaui kejaksaan) untuk menggugat perdata para
koruptor.
b) Jalur Hukum Administrasi
Dalam keputusan presiden nomor 14 A Thun 1980, yang mengatur tentang tata
Cara rekanan yang dan masalah komisi, diskon, dan sebagainya . hanya saja
Ketentuan dalam Keeputusan Presiden Nomor 14 A Tahun 1980 ini
perlu dikaitkan dengan sanksi, kalau perlu dengan sanksi administratif
. sebelum peraturan ini, sebenarnya telah ada ICW (Inside Comtabiliteits
Wet) 23 April 1864 stbl 1864 Nomor 106, stbl 1925, Nomor 445 ditambah dan
diubah dengan LN 1954 Nomor 6, 1955 tentang Pengelolaan Keuangan
Negara . begitu pula dengan Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 tentang
Disiplin Pegawai Negeri .
c) jalur hukum pidana
Jalur ini pun luas ruang lingkupnya karena seperti diketahui korupsi itu
tidakBerupa korupsi material dan keuangan saja, tetapi juga merupakan korupsi
Politik, korupsi ilmu, korupsi sastra, dan seni . di Amerika Serikat korupsi
pilotik itu justru mendapat perhatian yang besar sekali, terutama karena
terjadi skandal Watergatedi Indonesia korupsi politik seperti ini
di ancam dengan hukuman pidanamenurut Undang-Undang tentang Pemiliihan
Umum (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999) di Malaysia, korupsi dalam
pemilihan umum (pemilihan raya) termasukyang disidik oleh BPR (Badan
Pemberantasan Rasuah) nyatalah bahwa perumusan ini termasuk dalam pengertiian
korupsi politik seperti yang dimaksudkan di atas . korupsi ilmu sastra, seni
pun diancam pidana tercantum dalam Undang-Undang Hak Cipta (Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1982 yang di ubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1987,
kemudian oleh Undang-Undang No. 12 Tahun 1997) Dalam undang-undang tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi hanya
diatur tentang korupsi material dan keuangan, ditambah dengan beberapa delik
jabatan dan delik lain yang ada kaitanyya dengan penyesuaian perkara korupsi .
Jelaslah bahwa delik yang tercantum dalam UU PTPK itu sebagai ius
constitutum dirasakan masih terlalu sempit . masih banyak perbuatan yang
dirasakan seharusnya dipidana (ius constituendum) tidak tercakup di dalamnya .
secara sosiologis, nepotisme (memasang keluarga atau teman pada posisi
pemerintah tanpa memenuhi persyaratan untuk itu) dipandang sangat buruk dan
merugikan masyarakat, tetapi tidak termasuk sebagai delik korupsi . Syied
Hussein Alatas membagi klasifikasi jenis korupsi Dallam tiga kelompok : (a)
paksaan pengeluaran uang, (b) sogokan, (c) nepotisme . Sekarang telah ada
Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupai, Kolusi, Nepotisme (LN Nomor 3851), tetapi rumusan deliknya
tidak ada sehingga sulit jaksa membuat surat dakwaan . ada sanksi, tetapi tidak
ada rumusan delik (definisi delik) . tidak ada definisi delik dalam rumusan .
bagaimana membuktikan seseorang telah melakukan nepotisme . memang tidak ada
Negara yang membuat rumusan delik tentang nepotisme karena itu lebih berada
dalam ruang lingkup sosial . (social issue, not legal issue) .
G. Upaya Pemerintah Dalam Memberantas
Korupsi di Indonesi
· Strategi Pemberantasan
Korupsi
bertambah besar volume pembangunan maka semakin besar pula kemungkinan
kebocoran . ditambah dengan gaji pegawai negeri yang memang sangat minim di
Negara-negara berkembang seperti Indonesia, pegawai negeri terdorong untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang kadang-kadang menggunakkan kekuasaanya untuk
menambah penghasilanya.Memang terjadi korupsi yang besar-besaran bagi mereka yang
telah memperoleh pendapatan yang memadai disebabkan karena sifatnya yang
serakah, tetapi ini bukan hal yang menyeluruh .
Guner Myrdal berpendapat bahwa jalan untuk memberantas korupsi ialah
sebagai berikut :
(a) Menaikkan gaji pegawai rendah (dan menengah)
(b) Menaikkan moral pegawai tinggi
(c) Legalisasi pemungutan liar menjadi pendapat
resmi atau legal
Sudah jelas bahwa kalangan elite kekuasaan harus member keteladanan bagi
yang dibawah . untuk mencegah korupsi besar-besaran, bagi penjabat yang
menduduki jabatan yang rawan korupsi seperti bidang pelayanan masyarakat,
pendapatan Negara, penegak hukum, dan pembuat kebijaksanaan harus didaftar
kekayaannya sebelum menjabat jabatanya sehingga mudah diperiksa pertambahan
kekayaannya dibandingkan dengan pendapatan yang resmi .Artinya pegawai negeri
atau penjabat yang tidak dapat membuktikan kekayaanya yang tidak seimbang
debnga pendapatannyya yang resmi dapat digugat langsung secara perdata oleh
penuntu umum berdasarkan perbuatan melanggar hukum . Dengan demikian,
harus ada sistem pendaftaran kekayaan penjabat sebelum dan sesudah menjabat
sehingga dapat dihitung pertambahan kekayaan itu . Penuntutan pidana hanya
mempunyai fungsi sebagai obat yang terakhir . jelas korupsi tidak akan
terberantas hanya dengan penjatuhan pidana yang berat saja, tanpa suatu
prevensi yang lebih efektif .
Dengan pidana mati pun seperti di RRC ternyata tidak menghapus korupsi .
satu hal yang sering dilipakan kurang diperhatikannya peningkatan kesadaran
hukum rakyat . selalu penegak hukum saja yang diancam dengan tindakan keras,
tetapi jika rakyatnya senidiri menoleransi korupsi, yang setiap kali memerlukan
layanan selalau menyediakan amplop, dan setiap kena perkara langsung mencari
siapa penyidik, penuntut, atau hakimnya untuk disogok, lingkaran setan korupsi
tidak akan terberantas .
Di Negara Negara Afrika Bagian Selatan dirumuskan strsategi pemberantasan
korupsi berbentuk piramida yang pada puncaknya adalah prevensi (pencerahan),
sedangkan pada kedua sisinya masing masing pendidikan masyarakat (public
education) dan pemidanaan (punishment)Dalam memberantas korupsi harus dicari
penyebabnya terlebih dahulu, kemudian penyebab itu dihilangkan dengan cara
prevensi disusul dengan pendidikan (peningkatan kesadaran hukum) masyarakat
disertai dengan tindakan represif (pemidanaa) .
· Kebijakan pemerintah
dalam memberantas korupsi harus didukung seluruh warga
Kebijakan
pemerintah dalam memberantas korupsi yang sangat serius merupakan bagian dari
upaya dalam merealisasikan good governance dan clean government yaitu sistem
pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Program itu harus didukung dan
dijabarkan oleh seluruh warga Departemen Pertahanan sesuai fungsi, tugas dan
kewenangan masing-masing.
Seluruh warga, khususnya para pejabat untuk bekerja lebih keras dan lebih cermat sesuai aturan yang telah ditetapkan serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela. Lebih lanjut, ketidakcermatan dalam melaksanakan tugas bukan saja akan mengganggu tertibnya tatanan dan orientasi organisasi serta menghambat pencapaian sasaran yang telah ditetapkan. Tetapi hal itu juga dapat merusak moral, sikap dan disiplin yang sekaligus merusak citra lembaga Untuk itu, hal yang perlu ditekankan disini untuk dipedomani dan dilaksanakan, antara lain : pertama, melaksanakan tugas sesuai fungsi, kewenangan serta aturan-aturan yang telah digariskan. Kedua, sinergi, disiplin, dan motivasi untuk memberikan yang terbaik. Ketiga, jangan mudah tergoda mengambil jalan pintas yang dapat mengarah pada hal-hal yang berpotensi merugikan, baik secara perorangan maupun kelembagaan. |
· Upaya pemberantasan
korupsi seiring kemajuan teknologi dan komunikasi
Dalam pemberantasan korupsi terkandung makna penindakan dan pencegahan
korupsi, serta ruang untuk peran serta masyarakat yang seharusnya dapat lebih
ditingkatkan dengan adanya perbaikan akses masyarakat terhadap informasi.
Teknologi informasi dapat dimanfaatkan untuk perbaikan pelayanan publik sebagai
salah satu cara melakukan pencegahan korupsi. Sedangkan di sisi penindakan,
(tanpa bermaksud mengesampingkan pro kontra yang terjadi) undang-undang memberi
ruang bagi para penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi
Pemberantasan Korupsi untuk mendapatkan dan menggunakan informasi elektronik guna
memperkuat pembuktian kasus korupsi. Saat ini kita tengah menanti kehadiran
Peraturan Pemerintah yang akan mengatur lebih lanjut intersepsi dalam rangka
penegakan hukum, sesuai amanah undang-undang.
Dari survei Persepsi Masyarakat Terhadap KPK dan Korupsi Tahun 2008,
didapati bahwa belum terlalu banyak orang yang tahu bahwa tugas dan wewenang
yang diamanahkan kepada KPK bukan hanya tugas yang terkait dengan penanganan
kasus korupsi dan penanganan pengaduan masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi,
karena sekalipun telah banyak yang dilakukan oleh KPK dalam melakukan
pencegahan korupsi dan dalam mengkaji sistem administrasi lembaga
negara/pemerintah yang berpotensi korupsi, kegiatan-kegiatan itu menurut
kalangan pers kalah nilai jualnya jika dibandingkan dengan liputan atas
penindakan korupsi.
Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk
mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi,
supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.Karenanya ada tiga hal yang perlu
digarisbawahi yaitu ‘mencegah’, ‘memberantas’ dalam arti menindak pelaku
korupsi, dan ‘peran serta masyarakat’. Kemajuan teknologi informasi sudah
banyak membantu KPK dalam melakukan tugas-tugasnya. Dari mulai gedung KPK yang
dirancang sebagai smart building, paper-less information
system yang diberlakukan sebagai mekanisme komunikasi internal di KPK,
dan program-program kampanye serta pendidikan antikorupsi KPK. Dalam
meningkatkan peran serta masyarakat, informasi elektronik sangat dibutuhkan
agar informasi yang disampaikan dapat lebih cepat diterima, lebih luas
sebarannya, dan lebih lama penyimpanannya. KPK juga telah mengadakan berbagai
lomba bagi pelajar, mahasiswa, dan masyarakat yang antara lain berupa lomba PSA
antikorupsi, lomba film pendek antikorupsi, lomba poster, dan lomba-lomba
lainnya.
· Penggunaaan teknologi
informasi dalam memperkuat pembuktian kasus korupsi
Penegak hukum di Indonesia, dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi
Pemberantasan Korupsi sama-sama diberi kewenangan melakukan penyadapan. Dan
tidak seperti yang dipersepsikan banyak orang, para penegak hukum tidak bisa
sekehendak hatinya menggunakan instrumen yang sensitif ini.Bagi KPK, penyadapan
hanya dapat dilakukan setelah ada surat tugas yang ditandatangani Pimpinan KPK
yang menganut kepemimpinan kolektif di antara lima komisionernya. Sedangkan
keputusan untuk melakukan penyadapan didasarkan pada kebutuhan untuk memperkuat
alat bukti dalam kegiatan penyelidikan.
Penyelidikan itu sendiri dilakukan setelah kegiatan pengumpulan data dan
keterangan dilakukan setelah ditemukan indikasi tindak pidana korupsi. Dengan
demikian, penyadapan bukan merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk
mendapatkan bukti adanya suatu tindak pidana korupsi, dan keputusan untuk
melakukannya bukanlah keputusan yang mudah. Dalam melakukan penyadapan sesuai
kewenangan yang diatur dalam Pasal 26 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 serta
pasal 12 butir a UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, KPK tunduk pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika
Nomor 11/PER/M.KOMINFO/02/2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi. Karena
itu KPK tidak menganggap lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai ancaman, karena penyadapan yang
selama ini dilakukan merupakan lawfull interception, sesuai aturan
yang ada dan dilakukan dengan tanggung jawab, profesionalisme, dan
kehati-hatian ekstra.
KPK tidak pernah menyebarluaskan hasil sadapan, kecuali sebagai pembuktian
di sidang pengadilan, yang diperdengarkan atas perintah hakim Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi. Kesimpangsiuran informasi terjadi, ketika salah satu stasiun
televisi swasta menayangkan program yang memuat upaya penindakan KPK lengkap
dengan pemutaran rekaman hasil penyadapan yang dilakukan KPK.Terkait dengan
banyaknya tayangan dalam program tersebut yang menampilkan para terperiksa,
terdakwa, dan terpidana kasus-kasus yang ditangani KPK, ada sebagian masyarakat
yang menduga ada andil KPK di dalamnya.
Sebagai catatan, gambar-gambar dan rekaman yang ditampilkan tersebut
diambil dari ruang persidangan atau di halaman dan lobby tamu KPK yang
merupakan ruang publik. Parahnya lagi bukan hanya masyarakat awam hukum yang
berpendapat demikian. Dalam satu kesempatan talk show di salah
satu universitas di Yogyakarta medio September 2008 ini, seorang doktor
hukumpun menyatakan bahwa KPK telah melanggar hak asasi manusia para terdakwa
kasus tindak pidana korupsi karena memperdengarkan secara terus-menerus rekaman
pembicaraan dengan tujuan sebagai hukuman asesoris yang diberikan untuk
mempermalukan mereka.
Selama ini, KPK berusaha melaksanakan tugas yang diamanahkan oleh
undang-undang dengan semaksimal mungkin memanfaatkan kewenangan yang ada.
Karena itu Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik akan kami cermati
sebagai salah satu aturan yang harus ditaati dan dilaksanakan. Dalam penjelasan
umum Undang-Undang tentang KPK disebutkan bahwa : “……..Tindak pidana korupsi
yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial
dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi
tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi
suatu kejahatan luar biasa”.
Kalimat di atas bisa jadi merupakan salah satu alasan undang-undang ini
mengatur kembali pemberian kewenangan penyadapan kepada KPK, sekalipun
kewenangan yang sama telah diberikan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi tentang dimungkinkannya alat bukti petunjuk berupa informasi
yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau yang serupa dengan itu; dan dokumen, yakni setiap rekaman data atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,
benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau
perforasi yang memiliki makna.
Dari keinginan rakyat yang diterjemahkan dalam undang-undang yang
menyatakan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa, seharusnya membawa
implikasi pada penanganan korupsi dengan cara-cara yang luar biasa pula –
sekalipun tetap dalam koridor aturan hukum yang berlaku. Terkait dengan
kontroversi penyadapan dalam penindakan korupsi kita dapat mengambil penyadapan
atas kasus terorisme sebagai pembanding.POLRI telah lama melakukan penyadapan
untuk kasus terorisme dan tidak pernah ada yang mempermasalahkannya.
Besar kemungkinan karena kita sudah memahami bahaya terorisme. Hal ini
menjadi tantangan bagi KPK untuk lebih giat menyampaikan betapa seriusnya
implikasi dari korupsi ini. Betapa besar ongkos sosial korupsi yang harus
dibayar seluruh rakyat Indonesia. Ketika seorang Penyelenggara Negara menerima
suap, uang suap itu masih bisa berperan dalam memutar roda perekonomian negara,
sebagian bisa digunakan untuk membantu orang lain, atau bahkan disumbangkan ke
lembaga keagamaan. Namun yang selama ini kurang kita sadari - kerusakan sudah
terjadi, ketika seseorang dibiarkan melanggar aturan yang ditetapkan dengan
tujuan-tujuan tertentu - karena dia telah menyuap, entah itu membabat hutan,
memasukkan barang ilegal, menjual obat palsu, atau ribuan jenis lain
pelanggaran yang pada akhirnya akan bermuara pada kesengsaraan rakyat
Indonesia.
Mengingat itu semua, masih bisakah kita dengan percaya diri mengatakan
bahwa bukan perilaku koruptif kitalah yang menyebabkan rakyat di bumi yang kaya
raya ini harus berdiri berjam-jam sekedar untuk mendapatkan sembako atau uang
sekedarnya? Alangkah tidak sepadan jika boleh kita membandingkan antara uang
suap yang berpindah tangan itu dengan ongkos dan azab yang harus ditanggung
(oleh orang lain, saudara kita sendiri). Sebagai penutup, Undang-Undang ITE
mensyaratkan adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur tata cara intersepsi
yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum. Para penegak hukum termasuk
Penyidik Pegawai Negeri Sipil tentu saja berkepentingan dengan pengaturan dalam
Peraturan Pemerintah tersebut. Karenanya keterlibatan mereka dalam penyusunan
Peraturan Pemerintah ini diperlukan untuk menjamin profesionalisme, tanggung
jawab, dan asas keadilan dalam pelaksanaan dan pemanfaatan hasil intersepsi.
· Kinerja pemerintah dalam
pemberantasan korupsi belum maksimal
Kinerja pemerintah dalam pemberantasan kasus korupsi masih belum maksimal.
Dalam lima tahun terakhir, masih banyak ditemukan kebijakan yang justru
melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Dengan kata lain, prestasi eksekutif di
bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) dalam
memberantas korupsi masih jauh dari ekspektasi publik.Tidak sedikit kebijakan
pemerintah yang justru menggembosi langkah pemberantasan korupsi itu sendiri.
Lihat saja dari pernyataan yang dikeluarkan oleh Presiden SBY mengenai
kewenangan KPK yang dianggapnya terlalu besar, upaya BPKP mengaudit KPK, serta rivalitas
KPK vs Polri, terang Zainal Arifin Mochtar, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi
(PUKAT) Fakultas Hukum (FH) UGM .
Selain adanya upaya melemahkan KPK oleh pemerintah, masih terdapat beberapa
catatan atas kebijakan pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi selama lima
tahun terakhir. Pertama, kebijakan Presiden yang berdampak pada pemberantasan
korupsi, antara lain, Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan
Korupsi, Keppres No. 11 Tahun 2005 tentang Pembentukan Timtas Tipikor, dan PP No.
37 Tahun 2006 tentang Kenaikan Tunjangan Anggota DPRD. Inpres No. 5 Tahun 2004
dan Keppres No. 11 Tahun 2005, merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas
pemberantasan korupsi. Namun dalam pelaksanaan, keduanya tidak berjalan efektif
dan masih meninggalkan banyak catatan. Sementara itu, PP No. 37 Tahun 2006
justru merupakan blunder kebijakan yang ditempuh pemerintah.
Dengan keluarnya PP tersebut, potensi terjadinya gejala korupsi, khususnya
bagi anggota DPRD, menjadi semakin besar. Kedua, peran pemerintah dalam
pembentukan undang-undang anti korupsi. Dalam penyusunan RUU Pengadilan
Tipikor, pemerintah terbukti lamban. Selain itu, juga pada UU No. 3 Tahun 2009
tentang MA. Komitmen pemerintah dalam hal ini patut dipertanyakan sebab isu
paling krusial tentang perpanjangan usia hakim agung justru diusulkan oleh
pemerintah. Terakhir, penyelesaian adat atas dugaan kasus korupsi.
Setidak-tidaknya terdapat dua kasus yang disoroti, yakni kasus Amien Rais vs
Presiden SBY dan Yusril Ihza Mahendra vs Taufiequrrahman Ruki. Dalam konteks
ini, Presiden terlihat mengintervensi proses hukum yang semestinya dapat
dijalankan sesuai dengan prosedur.
Ditambahkan oleh Eddy O.S. Hiariej, staf pengajar FH UGM yang juga anggota
Pukat, bahwa dari keseluruhan hal tersebut seolah-olah menjadi antitesis
terkait dengan keseriusan pemerintah dalam mendukung gerakan anti korupsi.
Jargon-jargon yang selama ini diserukan tampaknya masih jauh dari implementasi
· Menimbang keseriusan
pemerintah dalam memberantas korupsi
Di negeri ini, korupsi agaknya telah menjadi penyakit akut yang sulit untuk
diberantas. Bertahun-tahun di bawah pemerintahan yang korup, menjadikan
penyebaran korupsi semakin meluas dan sistemik. Korupsi yang meluas dengan
gampang dapat kita jumpai pada hampir seluruh kantor pelayanan publik. Korupsi
menjadi bagian dari sistem pengelolaan negara. Celakanya, korupsi kerap
melibatkan petinggi-petinggi negeri ini. Ketua DPR misalnya, adalah seorang
terpidana yang entah mengapa tidak perlu mendekam di penjara seperti terpidana
lainnya. Bisa jadi, Akbar Tanjung si terpidana itu bisa menyeret pejabat
lainnya ke penjara kalau dirinya harus menginap di hotel prodeo.
Dari sisi hukum, aparat penegak hukum juga tampak letoi ketika berhadapan
dengan korupsi. Kalau menghadapi teroris macam Amrozi, Imam Samudera, dan lain
sebagainya, dengan sigap polisi bertindak. Kejaksaan pun, dengan proses yang
sangat cepat, mampu menyeret para terdakwa ke hadapan hakim di persidangan.
Tetapi, sama seperti politisi, ketika menangani kasus korupsi ada banyak alasan
sehingga berkas perkara mesti bolak-balik dikembalikan ke polisi, bukti tidak
mendukung, atau keluar SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) kalau tidak
dituntut bebas.Macetnya hukum dalam penanganan kasus korupsi bisa dimengerti
dengan melihat korupsi sebagai fenomena sosiologis. Dalam kaca mata sosiologis,
korupsi melibatkan jaringan elit kekuasaan, baik di eksekutif, legislatif
maupun yudikatif. Karena itu, bercokolnya Ketua DPR dari jerat hukum bisa
dibaca sebagai upaya melindungi elit lain. Juga mengapa Jaksa Agung yang
jelas-jelas dilaporkan ke polisi oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara
(KPKPN) karena laporan palsu masih duduk di kursinya. Oleh sebab itu, korupsi
dianggap sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. Untuk
memberantasnya, dibutuhkan pendekatan hukum yang luar biasa pula.
KPK, Komisi Super? Salah satu produk hukum yang digulirkan untuk
memberantas korupsi adalah pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi atau disingkat KPK. Pembentukan komisi ini merupakan amanat dari UU
No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang kemudian disempurnakan
dengan UU No. 20 Tahun 2001. UU Anti Korupsi itu merupakan amandemen dari UU
No.3 Tahun 1971 tentang Anti Korupsi yang dianggap sudah tidak memadai
lagi.Karena korupsi adalah extra ordinary crime, maka ada beberapa kewenangan
luar biasa yang dimiliki oleh KPK.
Diantaranya, pertama dipergunakannya alat bukti elektronik dalam
pembuktian. Alat bukti elektronik meliputi e-mail, rekaman suara, rekaman video
dan sebagainya. Bandingkan dengan KUHAP yang hanya mengakui kesaksian langsung
dari seseorang.
Kedua, KPK memiliki kewenangan dalam hal penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan. Bahkan KPK bisa mengambil alih kasus korupsi yang sedang ditangani
oleh kejaksaan atau kepolisian. Sebagai kejahatan yang luar biasa, korupsi
memang tidak bisa ditangani oleh aparatus negara konvensional seperti kejaksaan
dan kepolisian. Apalagi dalam kurun waktu yang lama terbukti dua institusi
penegak hukum itu gagal memberantas korupsi.
Ketiga, berbeda dengan kejahatan lain, persidangan kasus korupsi juga
dilakukan dengan cara di luar kelaziman. Kelak kalau KPK telah berfungsi,
koruptor akan diadili dalam Pengadilan Korupsi. Hakim yang mengadili, baik di
tingkat pertama (Pengadilan Negeri), banding (Pengadilan Tinggi) maupun kasasi
(MA) terdiri dari lima orang, dua hakim reguler sedangkan tiga sisanya adalah
hakim ad hoc.
Keempat, KPK tidak hanya bertugas pada ranah penegakan hukum. KPK juga
melakukan tugas pencegahan, seperti memeriksa laporan kekayaan pejabat negara.
Dengan berfungsinya KPK, maka KPKPN akan dibubarkan dan akan menjadi salah satu
divisi dalam KPK. Dengan demikian, kasus laporan palsu kekayaan Jaksa Agung
tidak akan terulang lagi karena berbeda dengan KPKPN, KPK bisa langsung
menyidik dan menyeret Jaksa Agung ke Pengadilan Korupsi. Karena begitu besarnya
kekuasaan yang dimiliki oleh KPK, banyak pihak berharap KPK akan menjadi obat
ampuh untuk menyembuhkan negeri ini dari korupsi. Apalagi anggota KPK hanya
lima orang sehingga bisa mengurangi benturan kepentingan.
Berdasarkan pengalaman Komnas HAM dan KPKN, jumlah anggota yang besar
menjadikan kedua komisi itu tidak bisa lincah dalam mengambil keputusan. Belum
lagi komposisi anggota yang berwarna-warni latar belakangnya, menjadikan
gerakan kedua komisi semakin lamban karena banyaknya kepentingan yang harus
diakomodasi.
Akan tetapi, kekuasaan besar KPK juga tidak lepas dari ancaman dari para
koruptor dan elit politik yang tidak berkepentingan. Sejak awal sebetulnya proses
pembentukan komisi super ini kerap tersendat-sendat. Proses pembentukan KPK
sendiri harus melalui berbagai tahapan yang cukup panjang. Pertama diawali
dengan pembentukan tim seleksi. Anggota Tim Seleksi dipilih oleh Menteri
Kehakiman dan HAM dan ditetapkan oleh Presiden dengan Keppres. Selanjutnya Tim
Seleksi yang akan memilik kandidat anggota KPK sebanyak 10 orang atau dua kali
jabatan yang tersedia. Tugas memilih siapa anggota komisi yang akan menjadi
musuh koruptor nomor satu adalah DPR.
Tim Seleksi akan memberikan 10 nama ke DPR yang akan memilih lima
diantaranya sebagai anggota KPK. Lalu anggota KPK akan diangkat oleh Presiden.
Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk membentuk KPK sekitar 185 hari atau 6
bulan 5 hari. Perkiraan ini adalah perkiraan optimis, artinya proses
pembentukan berjalan lancar dan tidak ada kejadian penting di luar perkiraan
yang bisa menggagalkan proses tersebut. Tenggat waktu yang diberikan oleh UU
No.30 Tahun 2002 adalah satu tahun. UU No. 30 disahkan tanggal 27 Desember 2002
sehingga KPK harus sudah terbentuk 27 Desember 2003.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau
pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang
secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian Negara
dan daerah atau merugikan keuangan suatu badan hukum lain yang menerima bantuan
dari keuangan Negara atau daerah atau badan hukum lain yang memergunakan modal
dan kelonggaran-kelonggaran dari Negara atau masyarakat .korupsi membawa banyak
sekali pengaruh negatif yang berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat,
antara lain dampaknya terhadap demokrasi, terhadap perekonomian negara, dan
tentu saja terhadap kesejahteraan umum negri ini . banyak sekali contoh-contoh
kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia . korupsi di
Indonesia difahami sebagai perilaku pejabat dan atau organisasi (Negara) yang
melakukan pelanggaran, dan penyimpangan terhadap norma-norma atau peraturan-peraturan
yang ada.
Sebagai fenomena pembangunan, korupsi terjadi dalam proses pembangunan yang
dilakukan oleh negara atau pemerintah. Setiap tindak pidana korupsi baik dalam
bentuk penyogok atau sebagai penerima sogok akan dikenai sanksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang tindak pidana korupsi
. Sejauh ini pemerintah terus melakukan upaya dalam memberantas korupsi .
salah satunya adalah dengan membentuk lembaga pemberantasan korupsi yang saat
ini dikenal dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) . selain itu
pemerintah juga memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi
sebagai alat dalam membantu upaya pemberantasan korupsi di negri ini . namun
hal ini tidak akan sempurna tanpa adanya dukungan dari komponen utama dan terbesar
yaitu masyarakat umum .
Untuk itu sebenarnya usaha yang paling efektif untuk memerngi korupsi di
Indonesia adalah kerja sama yang baik antara pemerintah dengan masyarakat umum
. Selain itu peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) akan meminimalisir
trejadinya tindak pidana korupsi . Hukum yang tegas juga diperlukan untuk
menjerat para ”tikus berdasi “ini yang mencuri hak rakyat .
Kombinasi antara semua aspek yang telah disebutkan di atas adalah upaya
sempurna dalam memerangi masalah korupsi di indonesia .
Daftar Pustaka
Hamzah jur andi,(2005), pemberantasan korupsi, Jakarta,PT Raja
Grafindo Persada
Dikoro wirdjono projo,(2005),tindak pidana tertentu di Indonesia, Jakarta,PT
Raja Grafindo Pesada
Komisi Pemberantasan Korupsi (2008), Survei Persepsi Masyarakat Terhadap
KPK dan Korupsi Tahun 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar