Minggu, 15 Januari 2017

Materi Teori Perbandingan Politik (TPP)

·        Pendekatan Legal/Institusionalisme
Pendekatan institusionalisme atau kelembagaan mengacu pada negara sebagai fokus kajian utama. Setidaknya, ada dua jenis atau pemisahan institusi negara, yakni negara demokratis yang berada pada titik “pemerintahan yang baik” atau good governance dan negara otoriter yang berada pada titik “pemerintahan yang jelek” atau bad governance dan kemudian berkembang lagi dengan banyak varian yang memiliki sebutan nama yang berbeda-beda.
(karena)Bahasan tradisional dalam pendekatan ini menyangkut antara lain sifat undang – undang dasar, masalah kedaulatan, kedudukan, dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga - lembaga kenegaraan seperti parlemen dan lain-lain. Dengan kata lain, pendekatan ini mencakup unsur legal maupun institusional. Struktur memengaruhi individu, mengacu pada Eropa (hal yang baik maupun buruk)
Setidaknya, ada lima karakteristik atau kajian utama pendekatan ini, yakni:
1.      Legalisme (legalism), yang mengkaji aspek hukum, yaitu peranan pemerintah dalam mengatur hukum;
2.      Strukturalisme, yakni berfokus pada perangkat kelembagaan utama atau menekankan pentingnya keberadaan struktur dan struktur itu pun dapat menentukan perilaku seseorang;
3.      Holistik (holism) yang menekankan pada kajian sistem yang menyeluruh atau holistik dalam artian lembaga eksekutif, legislative maupun yudikatif digunakan dalam pengkonsepan idealnya;
4.      Sejarah atau historicism yang menekankan pada analisisnya dalam aspeksejarah seperti kehidupan sosial-ekonomi dan kebudayaan;
5.      Analisis normatif atau normative analysis yang menekankan analisisnya dalam aspek yang normatif sehingga akan terfokus pada penciptaan good government

Pembelaan teori Institusionalisme terhadap kritik dari Behavioralisme
Dalam tanggapannya, para pendukung teori institusionalisme menyatakan bahwa karena kaum behavioralisme adalah bahwa fokusnya tidak pada atribut – atribut institusi – institusi pemerintah yang formal melainkan lebih terhadap sikap – sikap, distribusi – distribusi kekuasaan dan prilaku politik yang informal. Kaum institusionalisme juga menempatkan tekanan pada karakteristik, sikap, dan perilaku individu-individu, kelompok-kelompok, dan kelas-kelas sebagai faktor penentu dari hasil politik. “ mereka sering kehilangan unsur – unsur penting dari lapangan permainan…”

·        Pendekatan Behavioral/Post Behavioral
Muncul dan mulai berkembang di Amerika pada tahun 1950-an seusai perang dunia II.
Sebab – sebab kemunculannya:
1.      Sifat Deskriptif dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan
2.      Kekhawatiran jika ilmu politik tidak maju dengan pesat akan tertinggal dengan ilmu – ilmu lainnya
3.      Terdapat keraguan dari kalangan pemerintah Amerika mengenai kemampuan sarjana politik untuk menerangkan fenomena politik.
Pemikiran pokok pandekatan ini adalah hanya sedikit manfaat membahas lembaga – lembaga formal, tidak mengganggap lembaga – lembaga formal sebagai aktor yang independen, namun lebih kepada mempelajari perilaku manusia karena merupakan gejala yang benar – benar diamati. Pada hal lain, pendekatan ini juga mengamati orientasinya terhadap kegiatan tertentu. Pendekatan ini cenderung bersifat interdisipliner, tidak saja mempelajari faktor pribadi, tetapi juga budaya. Ciri pendekatan ini yaitu: suatu orientasi yang kuat untuk lebih mengilmiahkan ilmu politik.
Orientasi dalam hal ini mencakup beberapa ide pokok, melalui David Easton (1962) dan Albert Somit (1976),diuraikan sebagai berikut;
1.      Perilaku politik menampilkan keteraturan yang perlu dirumuskan sebagai generalisasi – generalisasi yang kemudian dibuktikan atau diverifikasi kebenarannya
2.      Dibutuhkan usaha untuk membedakan secara jelas antara norma dan fakta
3.      Analisis politik tidak boleh dipengaruhi oleh nilai – nilai pribadi peneliti. Peneliti harus bersifat bebas nilai (value free).
4.      Penelitian harus sistematis dan menuju pembentukan teori
5.      Ilmu politik harus bersifat murni dan merupakan kajian terapan untuk mencari penyelesaian masalah dalam menyusun rencana perbaikan
Salah satu ciri khas pendekatan behavioral ini ialah pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem social, negara sebagai sistem politik yang menjadi subsistem dari sistem social. Semua sistem mempunyai struktur (institusi atau lembaga),dan unsur – unsur  dari struktur ini menyelenggarakan beberapa fungsi. Fungsi-fungsi ini bergantung pada sistem dan fungsi lainnya.
Sarjana Tradisionalis seperti Eric Voegelin, Leo Strauss mengkritik pendekatan behavioral dengan argumentasi bahwa pendekatan itu terlalu steril karena menolak masuknya nilai – nilai dan norma – norma dalam penelitian politik. Menurut mereka, pendekatan behavioral tidak mengusahakan mencari jawaban atas pertanyaan yang mengandung nilai. Pada masa 1960-an muncul kritikan dari kalangan behavioralis sendiri yang dinamakan gerakan pasca behavioralis (post-behavioral). Gerakan ini muncul dikarenakan adanya perang Vietnam.
Gerakan ini mencanangkan perlunya relevansi dan tindakan. Gerakan ini tidak menolak pendekatan behavioral sepenuhnya namun sebagai koreksi terhadap pendekatan tersebut. Dengan adanya pendekatan pasca-behavioral ini, David Easton (1969) merumuskan pokok-pokok pikiran pendekatan behavioralis dan post-behavioralis yaitu:
1.       Dalam usaha mengadakan penelitian empiris dan kuantitatif, ilmu politik menjadi terlalu abstrak dan tidak relevan dengan masalah social yang dihadapi
2.       Pendekatan behavioral secara terselubung bersifat konservatif,sebab terlalu menekankan keseimbangan dan stabilitas dalam suatu sistem dan kurang memperhatikan gejala perubahan (change) yang terjadi dalam masyarakat.
3.       Dalam penelitian, nilai – nilai tidak boleh dihilangkan, ilmu tidak boleh bebas nilai dalam evaluasinya.
4.       Peneliti menjadi seolah-olah berada di menara gading yang hanya mengamati.
5.       Para peneliti harus merasa memiliki komitmen untuk aktif mengubah masyarakat agar menjadi lebih baik melalui penelitiannya, bahkan terjun langsung pada suatu perubahan maupun melalui pembentukan opini.
Kritik Behavioralisme terhadap Pendekatan Institusionalisme
Kritik awal dari kalangan behavioralisme adalah bahwa fokusnya tidak pada atribut-atribut, institusi-institusi pemerintah yang formal melainkan lebih terhadap sikap-sikap, distribusi-distribusi kekuasaan dan perilaku politik yang informal. Kaum behavioralis membalikkan faktor penyebab kekuatan-kekuatan sosietal kini dipandang sebagai variabel independen. Adapun diantaranya :
1.       Konsepnya terlalu sempit. Ciri-ciri negara, khususnya negara- negara yang disebutkan itu berlaku pada masyarakat yang bebbentuk negara, khususnya negara-negara industri aju seperti eropa barat, dan amerika Utara. Sebagaimana diketahui, ada pelbagai masyarakat suku atau masyarakat yang baru merdeka, yang sekalipun belum memenuhi ciri-ciri negara modern yang sudah  tetapi sudah melaksanakan tugas dan kegiatan politk.
2.       Dalam negara-negara industri maju kekuasaan tidak terpusat pada negara melainkan terdistribusikan pada negara-negara bagian dan kepada berbagai kekuatan politik dalam masyarakat.
3.       konseptualisasi di atas terlalu melihat negara dari sudut yuridis formal sehingga negara cenderung dilihat sebagai gejala yang statis.
4.       Yang melakukan kegiatan bukan lembaga negara ( yang tidak memiliki nilai dan kepentingan ), tetapi elit yang memegang jabatan tersebut yang ternyata memiliki nilai dan kepentingan sediri. Oleh karena itu, perilaku elit yang menduduki jabatan pada lembaga tersebut yang dipelajari, bukan lembaganya.

·        Pendekatan Neo – Institusionalisme
Pendekatan Neo-Institusional ini tidak memandang lembaga negara sebagai sesuatu yang sifatnya tetap dan tersusun, akan tetapi pendekatan Institutsional baru memandang negara sebagai hal yang dapat diperbaiki kedepannya. Kehadiran Institusional baru sebenarnya pengaruh oleh pendekatan behavioral yang melihat politik dan unsur-unsurnya sebagai hasil dari perilaku manusia, baik itu kelompok massa, maupun pemerintah sebagai sebuah lembaga yang hanya mencerminkan kegiatan sekelompok orang. Sebab bentuk serta sifat dari lembaga tersebut, merupakan hasil kinerja dari orang-orang yang berada didalamnya.
Neo-institusionalisme ini memutar balik pendekatan institusionalisme lama, misalnya untuk bidang ekonomi. Dari semula menggunakan pendekatan sejarah serta perhatian pada institusi untuk mengkaji perilaku ekonomi dan tatanan sosial menggunakan pendekatan sejarah serta perhatian pada institusi untuk mengkaji perilaku ekonomi dan tatanan sosial menggunakan pendekatan ekonomi neoklasik unruk menganalisis sejarah hubungan sosial dan pembentukan institusi.
Neo-intitusionalisme sebenarnya dipicu oleh pendekatan behavioralis yang melihat politik dan kebijakan publik sebagai hasil dari perilaku kelompok besar atau massa, dan pemerintah sebagai institusi yang hanya mencerminkan kegiatan masa itu. Bentuk dan sifat institusi ditentukan oleh aktor serta pilihannya. Dengan demikian kedudukan sentral dari institusi-institusi dalam membentuk kebijakan publik dinomorduakan. Maka timbul keinginan untuk merenungkan kembali pandangan  ini, dan kembali memandang negara, dengan berbagai institusinya, sebagai instansi utama, yang merupakan faktor penting dalam menentukan dan membatasi berbagai aspek yang diutamakan oleh pendekatan behavioralis. Pendekatan institusionalisme baru menjelasskan bagaimana organisasi institusi itu, apa tanggung jawab dari setiap peran dan bagaimana peran dan institusi berinteraksi.
Perbedaan dengan institusionalisme lama ialah perhatian institusionalisme baru lebih tertuju pada analisis ekonomi, kebijakan fisikal, dan moneter, pasar dan globalisasi ketimbang pada masalah konstisusi yuridis. Dapat dikatakan bahwa ilmu politik, dengan mengembalikan fokus atas negara termasuk aspek legal/institusionalnya, telah mengalami suatu lingkaran penuh.
Pendekatan Institusional baru memiliki beberapa jenis studinya yaitu dalam rangka mengambil fokus kajiannya, yakni :
1.    Institusionalisme Normatif
Institusionalisme ini mengacu pada norma-norma dan aturan formil suatu lembaga yang akan membentuk tindakan seseorang  dalam lembaga mereka.
2.    Institusionalisme pilihan Rasional
Insitusional ini menarik konsepnya dari pilihan rasional, akan tetapi cenderung tidak identik dengan itu. Para tokoh mengatakan pilihan rasional dibatasi, akan tetapi dibalik itu semua tiap individu sadar bahwa tujuan mereka dapat dicapai dengan lembaga itu. Dengan kata lain, lembaga merupakan sebuah sistem aturan dan bujukan terhadap individu yang memiliki perilaku, dimana individu berusaha untuk memaksimalkan kemampuan mereka sendiri.

Robert E. Goodin, merumuskan inti dari Institusionalisme Baru, yakni :
1.       Aktor dan kelompok melaksanakan proyeknya dalam suatu konteks yang dibatasi secara kolektif.
2.       Pembatasan-pembatasan itu terdiri dari institusi-institusi, yaitu a) pola norma dan pola peran yang telah berkembang dalam kehidupan sosial dan b) perilaku mereka yang memegang peran itu. Peran itu telah ditentukan secara sosial dan mengalami perubahan teus-menerus.
3.       Sekalipun demikian, pembatasan-pembatasan ini dalam banyak hal juga memberikan keuntungan bagi individu atau kelompok dalam mengejar proyek mereka masing-masing.
4.       Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang membatasi kegiatan individu dan kelompok,juga mempengaruhi pembentukan preferensi dan motivasi dari aktor dan kelompok-kelompok.
5.       Pembatasan-pembatasan ini mempunyai  akar historis, sebagai peniggalan dari tindakan dan pilihan masa lalu.
6.       Pembatasan-pembatasan ini mewujudkan, memelihara, dan memberi peluang serta kekuatan yang berbeda kepada individu dan kelompok masing-masing
3 tipe budaya politik :
1.       Budaya politik parokial
-          Masyarakat tidak punya orientasi (kognitif, afektif, evaluasi) terhadap obyek politik (sistem politik, input, output, dan aktor politik).
-          Tidak adanya peran yg terspesialisasi.
-          Biasanya terjadidalam masyarakat tradisional-sederhana (primordial)
2.       Budaya politik subyek
-          Orientasi terhadap sistem politik dan output tinggi, tetapi terhadap input/diri sendiri sebagai aktor politik rendah
-          Hubungan masyarakat terhadap keputusan (output) dan sistem bersifat pasif
-          Biasanya terjadi di masyarakat yg struktur input tidak terdiferensiasi
3.       Budaya politik partisipan
-          Pola sikap dan orientasi anggota masyarakat cenderung eksplisit berorientasi terhadap sistem politik sebagai keseluruhan
-          Biasanya terjadi pada masyarakat perkotaan yg terpelajar dan menyadari peran politik
Alasan demokrasi di AS cendereung stabil karena memiliki civic culture yg lebih kuat, yaitu terdapat keterlibatan dan rasionalitas, aktif (tidak emosional), diimbangi dengan kepasifan dan tradisionalitas, dan tetap memiliki keterikatan pd nilai2 primordial. Intinya adanya budaya politik campuran antara parokial, subyek, partisipan yg seimbang (tidak saling menggantikan).
Argumentasi dari kelembagaan bahwa individu harus tunduk kepada lembaga adalah kelembagaan mengungkapkan bahwa kelembagaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perilaku manusia dengan norma yg dibangun institusi. Artinya terdapat hubungan yg menimbulkan kepatuhan individu atas keputusan yg dikeluarkan institusi.












1 komentar:

  1. Ada sedikit persamaan antara aliran Institusional dengan aliran Sejarah, keduanya sama-sama menolak metode Klasik. Akan tetapi, dasar falsafah dan kesimpulan-kesimpulan politik kedua aliran tersebut berbeda. Aliran Institusional menolak ide eksperimentasi sebagaimana yang dianut oleh aliran Sejarah. Begitu juga, pusat perhatian aliran institusional terhadap masalah-masalah ekonomi dalam kehidupan masyarakat berbeda institusionalisme pilihan judi rasional

    BalasHapus