·
Pendekatan
Legal/Institusionalisme
Pendekatan institusionalisme atau kelembagaan mengacu pada negara sebagai fokus kajian utama. Setidaknya, ada dua jenis atau pemisahan
institusi negara, yakni negara demokratis yang
berada pada titik “pemerintahan yang baik” atau good governance dan
negara otoriter yang
berada pada titik “pemerintahan yang jelek” atau bad governance dan
kemudian berkembang lagi dengan banyak varian yang memiliki sebutan nama yang
berbeda-beda.
(karena)Bahasan
tradisional dalam pendekatan ini menyangkut antara lain sifat undang – undang dasar, masalah kedaulatan,
kedudukan, dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga - lembaga kenegaraan seperti parlemen dan lain-lain. Dengan kata lain, pendekatan ini
mencakup unsur legal maupun
institusional. Struktur memengaruhi individu, mengacu pada Eropa
(hal yang baik maupun buruk)
Setidaknya, ada
lima karakteristik atau kajian utama pendekatan ini, yakni:
2. Strukturalisme, yakni berfokus pada perangkat kelembagaan utama atau menekankan pentingnya keberadaan struktur dan
struktur itu pun dapat menentukan perilaku seseorang;
3. Holistik (holism) yang menekankan pada kajian sistem yang menyeluruh atau holistik
dalam artian lembaga eksekutif, legislative maupun yudikatif digunakan
dalam pengkonsepan idealnya;
4. Sejarah atau historicism yang menekankan pada analisisnya dalam
aspeksejarah seperti kehidupan sosial-ekonomi dan kebudayaan;
5. Analisis normatif
atau normative analysis yang menekankan analisisnya dalam aspek
yang normatif sehingga akan terfokus pada penciptaan good government
Pembelaan teori Institusionalisme terhadap kritik dari Behavioralisme
Dalam tanggapannya, para pendukung teori institusionalisme menyatakan
bahwa karena kaum behavioralisme adalah bahwa fokusnya tidak pada atribut –
atribut institusi – institusi pemerintah yang formal melainkan lebih terhadap
sikap – sikap, distribusi – distribusi kekuasaan dan prilaku politik yang
informal. Kaum institusionalisme juga menempatkan tekanan pada karakteristik,
sikap, dan perilaku individu-individu, kelompok-kelompok, dan kelas-kelas
sebagai faktor penentu dari hasil politik. “ mereka sering kehilangan unsur
– unsur penting dari lapangan permainan…”
·
Pendekatan Behavioral/Post Behavioral
Muncul dan mulai
berkembang di Amerika pada tahun 1950-an seusai perang dunia II.
Sebab – sebab kemunculannya:
1. Sifat Deskriptif
dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan
2. Kekhawatiran jika
ilmu politik tidak maju dengan pesat akan tertinggal dengan ilmu – ilmu lainnya
3. Terdapat keraguan
dari kalangan pemerintah Amerika mengenai kemampuan sarjana politik untuk
menerangkan fenomena politik.
Pemikiran pokok
pandekatan ini adalah hanya sedikit manfaat membahas lembaga – lembaga formal,
tidak mengganggap lembaga – lembaga formal sebagai aktor yang independen, namun
lebih kepada mempelajari perilaku manusia karena merupakan gejala yang benar –
benar diamati.
Pada hal lain, pendekatan ini juga mengamati orientasinya terhadap kegiatan
tertentu. Pendekatan ini cenderung bersifat interdisipliner, tidak saja
mempelajari faktor pribadi, tetapi juga budaya. Ciri pendekatan ini yaitu:
suatu orientasi yang kuat untuk lebih mengilmiahkan ilmu politik.
Orientasi dalam
hal ini mencakup beberapa ide pokok, melalui David Easton (1962) dan Albert
Somit (1976),diuraikan sebagai berikut;
1. Perilaku politik
menampilkan keteraturan yang perlu dirumuskan sebagai generalisasi –
generalisasi yang kemudian dibuktikan atau diverifikasi
kebenarannya
2. Dibutuhkan usaha
untuk membedakan secara jelas antara norma dan fakta
3. Analisis politik
tidak boleh dipengaruhi oleh nilai – nilai pribadi peneliti. Peneliti harus
bersifat bebas nilai (value free).
4. Penelitian harus
sistematis dan menuju pembentukan teori
5. Ilmu politik harus
bersifat murni dan merupakan kajian terapan untuk mencari penyelesaian masalah dalam menyusun
rencana perbaikan
Salah satu ciri
khas pendekatan behavioral ini ialah pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat
sebagai suatu sistem social, negara sebagai sistem politik yang menjadi
subsistem dari sistem social. Semua sistem mempunyai struktur (institusi
atau lembaga),dan unsur – unsur dari struktur ini menyelenggarakan
beberapa fungsi. Fungsi-fungsi ini bergantung pada sistem dan fungsi lainnya.
Sarjana
Tradisionalis seperti Eric Voegelin, Leo Strauss mengkritik pendekatan behavioral dengan argumentasi
bahwa pendekatan itu terlalu steril karena menolak masuknya nilai – nilai dan
norma – norma dalam penelitian politik. Menurut mereka, pendekatan behavioral tidak mengusahakan
mencari jawaban atas pertanyaan yang mengandung nilai. Pada masa 1960-an
muncul kritikan dari kalangan behavioralis sendiri
yang dinamakan gerakan pasca behavioralis
(post-behavioral). Gerakan ini muncul dikarenakan adanya perang
Vietnam.
Gerakan ini
mencanangkan perlunya relevansi dan tindakan. Gerakan ini tidak menolak
pendekatan behavioral sepenuhnya
namun sebagai koreksi terhadap pendekatan tersebut. Dengan adanya pendekatan
pasca-behavioral ini, David Easton (1969) merumuskan pokok-pokok pikiran
pendekatan behavioralis dan post-behavioralis yaitu:
1.
Dalam usaha mengadakan penelitian empiris dan kuantitatif,
ilmu politik menjadi terlalu abstrak dan tidak relevan dengan masalah social
yang dihadapi
2.
Pendekatan behavioral secara
terselubung bersifat konservatif,sebab terlalu menekankan keseimbangan dan
stabilitas dalam suatu sistem dan kurang memperhatikan gejala perubahan (change) yang terjadi dalam masyarakat.
3.
Dalam penelitian, nilai – nilai tidak boleh
dihilangkan, ilmu tidak boleh bebas nilai dalam evaluasinya.
4.
Peneliti menjadi seolah-olah berada di menara gading yang
hanya mengamati.
5.
Para peneliti harus merasa memiliki komitmen untuk aktif
mengubah masyarakat agar menjadi lebih baik melalui penelitiannya, bahkan
terjun langsung pada suatu perubahan maupun melalui pembentukan opini.
Kritik Behavioralisme
terhadap Pendekatan Institusionalisme
Kritik awal dari kalangan behavioralisme adalah bahwa fokusnya tidak
pada atribut-atribut, institusi-institusi pemerintah yang formal melainkan
lebih terhadap sikap-sikap, distribusi-distribusi kekuasaan dan perilaku
politik yang informal. Kaum behavioralis membalikkan faktor penyebab kekuatan-kekuatan
sosietal kini dipandang sebagai variabel independen. Adapun diantaranya :
1. Konsepnya terlalu sempit. Ciri-ciri negara, khususnya negara- negara yang disebutkan
itu berlaku pada masyarakat yang bebbentuk negara, khususnya negara-negara
industri aju seperti eropa barat, dan amerika Utara. Sebagaimana diketahui, ada
pelbagai masyarakat suku atau masyarakat yang baru merdeka, yang sekalipun
belum memenuhi ciri-ciri negara modern yang sudah tetapi sudah
melaksanakan tugas dan kegiatan politk.
2.
Dalam negara-negara industri maju kekuasaan tidak terpusat
pada negara melainkan terdistribusikan pada negara-negara bagian dan kepada
berbagai kekuatan politik dalam masyarakat.
3.
konseptualisasi di
atas terlalu melihat negara dari sudut yuridis formal sehingga negara cenderung dilihat sebagai gejala yang statis.
4.
Yang melakukan
kegiatan bukan lembaga negara ( yang tidak memiliki nilai dan kepentingan ),
tetapi elit yang memegang jabatan tersebut yang ternyata memiliki nilai dan
kepentingan sediri. Oleh karena itu,
perilaku elit yang menduduki jabatan pada lembaga tersebut yang dipelajari,
bukan lembaganya.
·
Pendekatan Neo –
Institusionalisme
Pendekatan
Neo-Institusional ini tidak memandang lembaga negara sebagai sesuatu yang
sifatnya tetap dan tersusun, akan tetapi pendekatan Institutsional baru
memandang negara sebagai hal yang dapat diperbaiki kedepannya. Kehadiran Institusional
baru sebenarnya pengaruh oleh pendekatan behavioral yang melihat politik dan
unsur-unsurnya sebagai hasil dari perilaku manusia, baik itu kelompok massa,
maupun pemerintah sebagai sebuah lembaga yang hanya mencerminkan kegiatan
sekelompok orang. Sebab bentuk serta sifat dari lembaga tersebut, merupakan
hasil kinerja dari orang-orang yang berada didalamnya.
Neo-institusionalisme ini memutar balik
pendekatan institusionalisme lama, misalnya untuk bidang ekonomi. Dari semula
menggunakan pendekatan sejarah serta perhatian pada institusi untuk mengkaji
perilaku ekonomi dan tatanan sosial menggunakan pendekatan sejarah serta
perhatian pada institusi untuk mengkaji perilaku ekonomi dan tatanan sosial
menggunakan pendekatan ekonomi neoklasik unruk menganalisis sejarah hubungan
sosial dan pembentukan institusi.
Neo-intitusionalisme sebenarnya dipicu oleh
pendekatan behavioralis yang melihat politik dan kebijakan publik sebagai hasil
dari perilaku kelompok besar atau massa, dan pemerintah sebagai institusi yang
hanya mencerminkan kegiatan masa itu.
Bentuk dan sifat institusi ditentukan oleh aktor serta pilihannya. Dengan
demikian kedudukan sentral dari institusi-institusi dalam membentuk kebijakan
publik dinomorduakan. Maka timbul keinginan untuk merenungkan kembali
pandangan ini, dan kembali memandang negara, dengan berbagai
institusinya, sebagai instansi utama, yang merupakan faktor penting dalam
menentukan dan membatasi berbagai aspek yang diutamakan oleh pendekatan
behavioralis. Pendekatan institusionalisme baru menjelasskan bagaimana
organisasi institusi itu, apa tanggung jawab dari setiap peran dan bagaimana
peran dan institusi berinteraksi.
Perbedaan dengan institusionalisme lama ialah
perhatian institusionalisme baru lebih tertuju pada analisis ekonomi, kebijakan
fisikal, dan moneter, pasar dan globalisasi ketimbang pada masalah konstisusi
yuridis. Dapat dikatakan bahwa ilmu politik, dengan
mengembalikan fokus atas negara termasuk aspek legal/institusionalnya, telah
mengalami suatu lingkaran penuh.
Pendekatan Institusional baru memiliki
beberapa jenis studinya yaitu dalam rangka mengambil fokus kajiannya, yakni :
1. Institusionalisme
Normatif
Institusionalisme ini mengacu
pada norma-norma dan aturan formil suatu lembaga yang akan membentuk tindakan
seseorang dalam lembaga mereka.
2. Institusionalisme pilihan
Rasional
Insitusional ini menarik
konsepnya dari pilihan rasional, akan tetapi cenderung tidak identik dengan
itu. Para
tokoh mengatakan pilihan rasional dibatasi, akan tetapi dibalik itu semua
tiap individu sadar bahwa tujuan mereka dapat dicapai dengan lembaga itu.
Dengan kata lain, lembaga merupakan sebuah sistem aturan dan bujukan
terhadap individu yang memiliki perilaku, dimana individu berusaha untuk
memaksimalkan kemampuan mereka sendiri.
Robert E. Goodin, merumuskan inti dari
Institusionalisme Baru, yakni :
1. Aktor dan kelompok melaksanakan proyeknya dalam suatu
konteks yang dibatasi secara kolektif.
2. Pembatasan-pembatasan itu terdiri dari
institusi-institusi, yaitu a) pola norma dan pola peran yang telah berkembang
dalam kehidupan sosial dan b) perilaku mereka yang memegang peran itu. Peran
itu telah ditentukan secara sosial dan mengalami perubahan teus-menerus.
3. Sekalipun demikian, pembatasan-pembatasan ini dalam
banyak hal juga memberikan keuntungan bagi individu atau kelompok dalam
mengejar proyek mereka masing-masing.
4. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang membatasi
kegiatan individu dan kelompok,juga mempengaruhi pembentukan preferensi dan
motivasi dari aktor dan kelompok-kelompok.
5. Pembatasan-pembatasan ini mempunyai akar historis,
sebagai peniggalan dari tindakan dan pilihan masa lalu.
6. Pembatasan-pembatasan ini mewujudkan, memelihara, dan
memberi peluang serta kekuatan yang berbeda kepada individu dan kelompok
masing-masing
3 tipe budaya politik :
1.
Budaya
politik parokial
-
Masyarakat
tidak punya orientasi (kognitif, afektif, evaluasi) terhadap obyek politik
(sistem politik, input, output, dan aktor politik).
-
Tidak adanya
peran yg terspesialisasi.
-
Biasanya
terjadidalam masyarakat tradisional-sederhana (primordial)
2.
Budaya
politik subyek
-
Orientasi
terhadap sistem politik dan output tinggi, tetapi terhadap input/diri sendiri
sebagai aktor politik rendah
-
Hubungan
masyarakat terhadap keputusan (output) dan sistem bersifat pasif
-
Biasanya
terjadi di masyarakat yg struktur input tidak terdiferensiasi
3.
Budaya
politik partisipan
-
Pola sikap
dan orientasi anggota masyarakat cenderung eksplisit berorientasi terhadap
sistem politik sebagai keseluruhan
-
Biasanya
terjadi pada masyarakat perkotaan yg terpelajar dan menyadari peran politik
Alasan demokrasi di AS cendereung stabil karena memiliki civic culture yg lebih kuat, yaitu terdapat
keterlibatan dan rasionalitas, aktif (tidak emosional), diimbangi dengan
kepasifan dan tradisionalitas, dan tetap memiliki keterikatan pd nilai2
primordial. Intinya adanya budaya politik campuran antara parokial, subyek,
partisipan yg seimbang (tidak saling menggantikan).
Argumentasi dari kelembagaan bahwa individu harus tunduk kepada lembaga adalah kelembagaan mengungkapkan bahwa
kelembagaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perilaku manusia dengan
norma yg dibangun institusi. Artinya terdapat hubungan yg menimbulkan kepatuhan
individu atas keputusan yg dikeluarkan institusi.
Ada sedikit persamaan antara aliran Institusional dengan aliran Sejarah, keduanya sama-sama menolak metode Klasik. Akan tetapi, dasar falsafah dan kesimpulan-kesimpulan politik kedua aliran tersebut berbeda. Aliran Institusional menolak ide eksperimentasi sebagaimana yang dianut oleh aliran Sejarah. Begitu juga, pusat perhatian aliran institusional terhadap masalah-masalah ekonomi dalam kehidupan masyarakat berbeda institusionalisme pilihan judi rasional
BalasHapus